Kisah dari Afghanistan, Keseharian Warga Kabul Hidup Berdampingan dengan Mereka yang Sudah Mati
Kompas dunia | 31 Mei 2022, 16:47 WIBSeiring waktu, penguburan individu itu berkembang menjadi pemakaman, menyatu dengan lingkungan dan dengan kehidupan sehari-hari penduduk.
Baca Juga: Korban Tewas Serangan Bom di Masjid Kabul saat Salat Jumat Bertambah Jadi 50 Orang
Warga mungkin berkumpul merayakan pernikahan sementara tidak jauh pelayat berkumpul untuk memakamkan jenazah anggota keluarganya.
“Saya lahir di sini, dan saya selalu melihat kuburan,” kata Habib, 14 tahun, sedang bermain sepak bola dengan teman-temannya di antara makam di pemakaman Nader Shah Hill.
Banyak dari mereka yang dimakamkan di sini meninggal dalam hampir satu dekade pertempuran melawan pendudukan Soviet pada 1980-an.
Kuburan tua di tempat itu jarang dirawat, sehingga sering kali tanah gua di dalam atau kuburan beton retak terbuka.
Bagi orang-orang miskin di Kabul, kuburan bisa menjadi sumber pendapatan.
Arefeh, 27, tinggal bersama keempat anaknya di sebelah kuburan Sakhi, yang digunakan oleh minoritas Syiah di kota itu.
Baca Juga: PBB Desak Taliban Hentikan Diskriminasi Perempuan di Afghanistan dari Pendidikan hingga Hijab
Dia dan anak-anaknya menghasilkan sedikit uang dengan menjual air kepada orang yang lewat dan dengan mencuci kuburan. Seperti banyak orang Afghanistan, dia hanya menggunakan satu nama.
Pemakaman Shuhada-e Saliheen, atau “Syuhada yang Saleh", berguling menuruni lereng bukit di Kabul selatan, menjadi salah satu pemakaman terbesar di kota.
Fahim lahir di sebelah kuburan 54 tahun yang lalu dan dibesarkan di sana, bermain di antara kuburan keluarganya. Ayah dan kakeknya dimakamkan di dekatnya. Sekarang anak-anaknya, juga lahir di sini, bermain di kuburan.
Dia mengatakan khawatir bagaimana efeknya pada anak-anaknya, “Anak-anak tumbuh dengan melihat jasad orang yang sudah mati. Kematian makin sudah menjadi hal biasa bagi mereka,” katanya.
“Tapi kita tidak punya pilihan. Kita harus melanjutkan hidup ini.” kata Fahim dengan mata nanar.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV/Associated Press