Bagi Pemilih Selain Macron dan Le Pen, Pilpres Prancis seperti Memilih antara Kolera atau Wabah
Kompas dunia | 23 April 2022, 23:36 WIBPARIS, KOMPAS.TV – Presiden Prancis petahana Emmanuel Macron berada di posisi terdepan dari rivalnya Marine Le Pen dari sayap kanan dalam pemilihan presiden (pilpres) Prancis.
Namun, kemenangan Macron masih bergantung pada ketidakpastian para pemilih yang masih ragu.
Jika Macron menang pada Minggu (24/4/2022), maka ia akan menjadi presiden Prancis pertama dalam 20 tahun yang berhasil melaju hingga periode kedua.
Melansir Associated Press, seluruh jajak pendapat beberapa hari belakangan menunjukkan kemenangan bagi Macron, sosok lelaki 44 tahun pro-Eropa.
Namun, selisih suara dengan rivalnya yang nasionalis tampak tak pasti, bervariasi dari 6 hingga 15 persen.
Baca Juga: Macron Hadapi Lawan Berat di Pilpres Prancis Putaran 2, Kekuatan Politik Bersatu Hadapi Sayap Kanan
Jajak pendapat juga memprediksi sejumlah besar pemilih akan mengisi surat suara dengan pilihan kosong atau tinggal di rumah dan tak memilih sama sekali pada pilpres putaran kedua sekaligus terakhir ini.
Pilpres putaran pertama pada 10 April lalu mengeliminasi 10 kandidat presiden lainnya.
Pemimpin Prancis selanjutnya sebagian besar akan bergantung pada pilihan mereka yang sebelumnya memilih kandidat-kandidat presiden yang kalah, pada Minggu (24/4).
Pertanyaan hendak memilih siapa ini sungguh sulit, terutama bagi pemilih sayap kiri yang membenci Macron, namun yang juga tak ingin melihat Le Pen berkuasa.
“Bukannya saya suka memilih Marine Le Pen, tetapi jika kau harus memilih antara kolera dan wabah, kau pasti akan pilih satu dari dua setan yang kurang jahat,” tutur Dulan Fouquet, pemilih Jean Luc Melenchon di Arras, Prancis utara, dikutip dari BBC, Sabtu (23/4).
Baca Juga: Capres Prancis Larang Sembelih Hewan untuk Daging Halal, Kaum Muslim dan Yahudi Ketar-ketir
Melenchon sendiri berada pada posisi ketiga, berselisih tipis di bawah Le Pen pada pilpres putaran pertama.
Ketergantungan pada pemilih ini membuat Macron berupaya membujuk para pemilih sayap kiri.
“Pikirkan apa yang rakyat Inggris katakan beberapa jam sebelum Brexit atau (warga) di Amerika Serikat sebelum kemenangan Trump terjadi: ‘Saya tak akan pergi (memilih), apa gunanya?’ Dan mereka menyesali keputusan mereka sehari setelahnya,” tutur Macron pekan ini di televisi France 5.
“Jadi jika Anda ingin menghindari yang tidak terpikirkan… memilihlah (karena) untuk dirimu sendiri,” desak Macron pada para pemilih Prancis yang ragu.
Kedua rival capres Prancis itu tampil saling serang selama beberapa hari jelang pilpres putaran kedua pada Minggu.
Baca Juga: Capres Sayap Kanan Prancis Berpeluang Menangi Pilpres, Ini Gambaran bila Marine Le Pen Jadi Presiden
Macron berargumen bahwa pinjaman yang diterima partai Le Pen pada 2014 dari bank Ceko-Rusia membuatnya tak sesuai menghadapi Moskow di tengah invasinya ke Ukraina.
Ia juga menyebut bahwa rencana Le Pen melarang perempuan muslim mengenakan hijab di area publik di Prancis akan memicu ‘perang saudara’ di negara berpenduduk muslim terbesar di Eropa Barat itu.
Sementara, Le Pen berupaya meraih suara para pemilih yang berjuang dengan kenaikan harga makanan dan energi di tengah dampak perang Rusia di Ukraina.
Bagi kandidat 53 tahun itu, menurunkan biaya hidup akan menjadi prioritas utamanya jika ia terpilih sebagai presiden perempuan pertama Prancis.
Penulis : Vyara Lestari Editor : Fadhilah
Sumber : Associated Press/BBC