Pemerintahan Kuwait Mengundurkan Diri usai Tekanan Parlemen, Krisis Politik Makin Runyam
Kompas dunia | 5 April 2022, 20:21 WIBDUBAI, KOMPAS.TV — Ketidakpastian politik mengemuka di Kuwait menyusul pengunduran diri pemerintahan di bawah kepemimpinan Perdana Menteri (PM) Sabah al-Khalid al-Hamad al Sabah seperti dilaporkan Associated Press, Selasa (5/4/2022).
PM Kuwait Sheikh Sabah Al-Khaled Al Hamad Al Sabah mengajukan pengunduran diri kabinetnya kepada putra mahkota Sheikh Meshal al-Ahmad al-Sabah menjelang mosi tidak percaya di Parlemen akhir pekan ini.
Mosi tidak percaya itu berusaha untuk mencopot Sheikh Sabah dari kursi perdana menteri.
Ini menandai pengunduran diri kolektif ketiga di Kuwait dalam satu setengah tahun terakhir.
Sebelumnya pada Desember, pemerintahan mengangkat sejumlah wajah baru ke posisi menteri untuk menenangkan blok oposisi. Namun pengunduran diri mereka sekarang dianggap mencerminkan kegagalan untuk melakukan reformasi.
Perlawanan di parleman meningkat terhadap PM Sheikh Sabah. Anggota parlemen yang marah pekan lalu memaksanya untuk menjelaskan secara ekstensif tudingan korupsi dan salah urus negara.
Mereka secara terbuka menyatakan dia "tidak cocok" dan menyerukan diangkatnya perdana menteri baru untuk mengatasi masalah negara dan mengamankan reformasi yang sangat dibutuhkan.
Pengunduran diri kabinet terjadi setelah menteri pertahanan dan menteri dalam negeri mengajukan pengunduran diri mereka awal tahun ini.
Karena jengkel, kedua menteri senior itu mencela ketidakmampuan mereka untuk membuat sesuatu terjadi di Kuwait yang kaya minyak, karena oposisi parlemen yang gaduh.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Kuwait Batalkan Undang-Undang yang Kriminalisasi Warga Transgender
Anggota parlemen beberapa bulan terakhir mengungkapkan frustrasi politik dan ketidakpercayaan mereka dengan menanyai berbagai menteri yang dianggap tidak populer, berakibat penundaan proyek-proyek besar.
Meskipun melonjaknya harga minyak di tengah perang Rusia di Ukraina baru-baru ini menciptakan rezeki nomplok bagi Kuwait, hal itu juga menjadi pengingat tentang ketergantungan negara tersebut pada pendapatan minyak dan kebutuhan untuk melakukan diversifikasi.
Bahkan jika Dana Moneter Internasional (IMF) sekarang mengharapkan Kuwait untuk menjalankan surplus anggaran setelah bertahun-tahun berada di zona merah dan melihat produk domestik brutonya meningkat sebesar 2,7 persen, Kuwait tetap terjebak secara politik.
Harga minyak yang rendah selama bertahun-tahun, ditambah dengan pandemi Covid-19, mendorong defisit anggaran negara itu menjadi 16,6 persen dari PDB tahun lalu.
Saat tekanan keuangan memburuk, pemerintah tidak dapat menarik dana kekayaan negara Kuwait atau menerbitkan utang karena anggota parlemen memblokir undang-undang utang publik.
Parlemen Kuwait adalah sesuatu yang langka di Teluk Arab yang otokratis, memiliki wewenang untuk mengesahkan dan memblokir undang-undang, menanyai menteri, dan mengajukan mosi tidak percaya terhadap pejabat senior.
Namun, otoritas terakhir ada di tangan emir yang berkuasa.
Stagnasi keuangan selama dua tahun terakhir menyebabkan kekecewaan mendalam terhadap sistem politik negara.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Associated Press