> >

Penelitian di Tbilisi Kembangkan Virus Bakteriofag, Kerjanya Makan Bakteri yang Kebal Antibiotik

Kompas dunia | 4 April 2022, 22:21 WIB
Penelitian di Tbilisi, Georgia, mengembangkan cara inovatif mengatasi bakteri yang resistan atau kebal antibiotik, melalui virus bakteriofag, yang kerjanya membunuh dan memakan bakteri berbahaya saat obat-obatan antibiotik tidak mempan membunuh bakteri berbahaya tersebut. (Sumber: France24)

TBILISI, KOMPAS.TV - Penelitian di Tbilisi, Georgia, saat ini mengembangkan cara inovatif mengatasi bakteri yang resistan atau kebal antibiotik.

Upaya itu dilakukan dengan mengembangkan virus bakteriofag, atau virus yang kerjanya membunuh dan memakan bakteri berbahaya saat obat-obatan antibiotik tidak mempan membunuh mereka, seperti laporan France24, Senin (4/4/2022).

Saat dunia terus berjuang melawan virus corona dan pandemi Covid-19 yang menewaskan jutaan orang dan mengubah kehidupan setiap orang mungkin untuk selamanya, barangkali aneh mendengar ada virus yang dapat menyelamatkan banyak nyawa.

Dalam cawan petri di laboratorium di ibu kota Georgia, Tbilisi, terjadi pertempuran antara bakteri resistan antibiotik dan virus yang "ramah".

Di Georgia, negara kecil di Kaukasus ini memelopori penelitian cara inovatif mengatasi mimpi buruk bakteri yang resistan terhadap antibiotik, dan saat ini menjadi sandaran harapan dunia.

Lama diabaikan di Barat, bakteriofag atau virus pemakan bakteri, sekarang digunakan pada beberapa kasus medis yang paling sulit, termasuk seorang perempuan Belgia yang mengalami infeksi mengancam jiwa setelah terluka dalam pemboman bandara Brussels tahun 2016.

Setelah dua tahun pengobatan antibiotik gagal, bakteriofag yang dikirim dari Tbilisi menyembuhkan infeksinya hanya dalam tiga bulan.

"Kami menggunakan fag yang membunuh bakteri berbahaya" untuk menyembuhkan pasien ketika antibiotik gagal, kata Mzia Kutateladze dari Institut Bakteriofag Eliava seperti dikutip France24, Senin.

Baca Juga: Penelitian: Bakteri yang Kebal Antibiotik Bunuh 1,2 Juta Orang di Dunia dalam Satu Tahun

Penelitian di Tbilisi, Georgia, mengembangkan cara inovatif mengatasi bakteri yang resistan atau kebal antibiotik, melalui virus bakteriofag, yang kerjanya membunuh dan memakan bakteri berbahaya saat obat-obatan antibiotik tidak mempan membunuh bakteri berbahaya tersebut. (Sumber: Daily Sabah)

Bahkan infeksi yang dangkal dapat "membunuh pasien karena patogen mengembangkan resistansi terhadap antibiotik," kata Kutateladze.

Dalam kasus seperti itu, phagotherapy atau fagoterapi "adalah salah satu alternatif terbaik," tambahnya.

Fag telah dikenal selama satu abad, tetapi sebagian besar dilupakan dan diabaikan setelah antibiotik merevolusi pengobatan pada 1930-an.

Namun orang yang paling banyak mengembangkannya, ilmuwan Georgia, Giorgi Eliava, dieksekusi tahun 1937 atas perintah orang Georgia lainnya, Lavrentiy Beria, antek paling terkenal dan kepala polisi rahasia Stalin.

Eliava pernah bekerja di Institut Pasteur di Paris dengan ahli mikrobiologi Prancis Kanada Felix d'Herelle, salah satu dari dua orang yang dianggap sebagai penemu fag, dan membujuk Stalin untuk mengundangnya ke Tbilisi pada tahun 1934.

Namun kolaborasi mereka terputus ketika Beria membunuh Eliava, meskipun motifnya masih menjadi misteri.

Baca Juga: Di Madagaskar Ditemukan Bakteri yang Bisa Hidup di Ruang Hampa Udara

Mzia Kutateladze, direktur Institut Bakteriofag Eliava, 24 Februari 2022. Penelitian di Tbilisi, Georgia, mengembangkan cara inovatif mengatasi bakteri yang resistan atau kebal antibiotik, melalui virus bakteriofag, yang kerjanya membunuh dan memakan bakteri berbahaya saat obat-obatan antibiotik tidak mempan membunuh bakteri berbahaya tersebut. (Sumber: Daily Sabah)

Dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sekarang menyatakan resistansi antimikroba sebagai krisis kesehatan global, fag kembali hadir dengan spektakuler, terutama karena bakteriofag dapat menghajar bakteri yang kebal antibiotik sambil membiarkan sel manusia tetap utuh.

Sebuah studi baru-baru ini memperingatkan, superbug dapat membunuh sebanyak 10 juta orang per tahun saat resistansi antimikroba mencapai titik kritis akibat penggunaan antibiotik yang berlebihan.

Situasi mengerikan itu bisa datang dalam tiga dekade ke depan.

Sementara obat-obatan berbasis fag tidak dapat sepenuhnya menggantikan antibiotik, para peneliti mengatakan, mereka punya kelebihan utama karena murah, tidak menghasilkan efek samping atau merusak organ maupun flora usus.

"Kami memproduksi enam fag standar yang berspektrum luas dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit menular," kata dokter dari Institut Eliava, Lia Nadareishvili.

Walau begitu, pada 10 - 15 persen pasien, fag atau phages standar tidak bekerja dengan baik sehingga "kita harus mencari phages atau fag yang mampu membunuh bakteri yang ditargetkan," tambahnya.

Baca Juga: Sri Lanka Larang Bongkar Muat Pupuk Organik Terkontaminasi Bakteri Berbahaya Asal China

Phages atau fag bisa khusus dirancang untuk menyasar infeksi bakteri langka, dan fag tersebut bisa dipilih dari koleksi besar fag institut tersebut, atau bisa dicari di mana saja, termasuk di tanah, di saluran air kotor, maupun di air yang terpolusi, kata Kutateladze.

Institut itu bahkan bisa 'melatih' fag sehingga "mereka bisa membunuh lebih banyak bakteri berbahaya," seraya menambahkan, "Ini murah dan terapi yang sangat gampang dijangkau."

Seorang insinyur mesin Amerika berusia 34 tahun yang menderita penyakit bakteri kronis selama enam tahun seperti dikutip France24 mengatakan dia "sudah merasakan perbaikan" setelah dua minggu menjalani perawatan di institut Eliava di Tbilisi.

"Saya sudah mencoba setiap pengobatan yang mungkin dilakukan di Amerika Serikat," kata Andrew, yang hanya mau menyebutkan nama depannya.

Dia adalah salah satu dari ratusan pasien dari seluruh dunia yang tiba di Georgia setiap tahun untuk perawatan harapan terakhir, kata Nadareishvili.

Baca Juga: Hati-hati! Penggunaan Antibiotik Sembarangan Bisa Bikin Penyakit Makin Susah Sembuh

Penelitian di Tbilisi, Georgia, mengembangkan cara inovatif mengatasi bakteri yang resistan atau kebal antibiotik, melalui virus bakteriofag, yang kerjanya membunuh dan memakan bakteri berbahaya saat obat-obatan antibiotik tidak mempan membunuh bakteri berbahaya tersebut. (Sumber: Daily Sabah)

Dengan cepat menipisnya gudang antimikroba tradisional, diperlukan lebih banyak studi klinis sehingga fagoterapi dapat lebih disetujui secara luas, kata Kutateladze.

Tahun 2019, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) mengesahkan studi klinis tentang penggunaan bakteriofag untuk menyembuhkan infeksi sekunder pada pasien Covid-19.

Di luar obat-obatan, fag sudah digunakan untuk menghentikan makanan menjadi basi, dan "dapat digunakan dalam pertanian untuk melindungi tanaman dan hewan dari bakteri berbahaya," kata Kutateladze.

Lembaga juga telah melakukan penelitian pada bakteri yang menyasar kapas dan beras.

Bakteriofag juga memiliki potensi melawan senjata biologis dan memerangi bioterorisme, dengan peneliti Kanada menerbitkan studi tahun 2017 tentang penggunaannya untuk melawan serangan antraks di tempat-tempat umum yang ramai.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV/France24/Daily Sabah


TERBARU