> >

Wacana Presiden 3 Periode, Jokowi Ikuti Jejak Diktator Afrika?

Kompas dunia | 4 April 2022, 20:26 WIB
Ilustrasi. Presiden Jokowi dalam Pembukaan Silaturahmi Nasional APDESI Tahun 2022, Selasa (29/3/2022). Belakangan ini, mencuat wacana memperpanjang masa jabatan Jokowi menjadi tiga periode. (Sumber: Tangkapan Layar Youtube Setpres/Ninuk)

Akan tetapi, batasan itu tak sepenuhnya menutup kemungkinan presiden menjabat melebihi periode yang seharusnya.

Pada 1963 lalu, melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963, Presiden Sukarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup.

Selanjutnya, amandemen terjadi pada masa Suharto yang memungkinkannya berkuasa selama 32 tahun.

Wacana amandemen UUD 1945 untuk mengakomodasi perpanjangan masa jabatan Jokowi sendiri mencuat setidaknya sejak tahun lalu.

Pada Agustus 2021 lalu, Komunitas Jokowi-Prabowo 2024 mendesak supaya amandemen konstitusi dilakukan.

"Memang UUD 45 sudah mengatur pada Pasal 37 bahwa UUD 45 bisa diubah sejauh syarat-syaratnya dipenuhi, diusulkan sepertiga anggota MPR, kemudian dihadiri 2/3 anggota MPR dan juga disetujui 50 persen plus 1 kalau nggak salah nanti bisa dicek konstitusinya tapi intinya sejauh syarat-syarat itu terpenuhi, maka kemudian amandemen bisa dilakukan," kata kata penasihat komunitas Jokowi-Prabowo 2024, M. Qodari dikutip Kontan pada 13 Agustus 2021 silam.

Amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden bukanlah hal asing di negara lain, terutama di negara dengan iklim demokrasi meragukan. 

Diktator Belarusia, Aleksandr Lukashenko memperpanjang masa jabatan melalui amandemen konstitusi pada 2004.

Kendati Belarusia kembali mengamendemen konstitusi yang menetapkan batas masa jabatan presiden dua periode pada 2022, analis menyebut konstitusi baru ini justru mengonsentrasikan kekuatan lebih besar di tangan Lukashenko usai menghadapi demonstrasi besar-besaran pada 2020-2021.

Di Afrika, amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden juga cukup umum ditemui.

Krisis politik Sudan sejak 2021 lalu berawal dari ambisi diktator Omar Al-Bashir yang ingin memperpanjang masa jabatannya.

Baca Juga: Abdalla Hamdok, PM Sudan Lulusan Manchester, Mundur Karena Tak Tahan Kemelut Politik

Pada 2019, Al-Bashir, presiden yang berkuasa berkat kudeta pada 1989, ingin memperpanjang masa jabatannya dan memerintahkan komite parlemen untuk membahas amandemen konstitusi.

Niat Al-Bashir ini tak disambut baik oleh berbagai elemen masyarakat.

Wacana amandemen konstitusi Al-Bashir memicu demonstrasi besar-besaran.

Demonstrasi yang berlangsung selama beberapa pekan ini ditindaklanjuti militer yang melakukan kudeta.

Hasilnya, pemerintahan transisi dibentuk untuk mengarahkan Sudan menjadi negara demokratis.

Namun, proses transisi sempat dicederai kudeta militer yang dilakukan Jenderal Abdul Fatah Al-Burhan pada 2021.

Sementara itu, di Chad, upaya perpanjangan masa jabatan presiden juga berbuah pahit.

Pada 2005, Presiden Idriss Deby secara sepihak memodifikasi konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya yang telah berlangsung sejak 1990.

Keputusan Deby itu memicu kemarahan dari berbagai elemen masyarakat dan oposisi.

Selama 21 tahun kekuasaan, kepemimpinan Deby diterpa upaya kudeta, kekerasan etnis, dan perang saudara.

Kekuasaan Deby baru berakhir saat ia terbunuh dalam operasi militer melawan kelompok pemberontak Front for Change and Concord in Chad (FACT).

Setelah kematian Deby, pemerintahan Chad dibubarkan dan konstitusi dibekukan.

Chad saat ini dipimpin oleh pemerintahan transisi militer yang dipimpin oleh Mayjen Mahamat Deby Itno, putra kedua Idriss Deby.

Menurut Abebe, krisis politik yang marak di Afrika terkait dengan fenomena presiden seumur hidup.

Rezim-rezim presiden dengan kekuasaan nyaris absolut sering kali diwarnai instabilitas, absennya kebebasan sipil dan politik, serta korupsi dan patrimonialisme.

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Fadhilah

Sumber : Kompas TV


TERBARU