Kisruh Perundingan Damai Rusia dan Ukraina, Inilah Masalah Utama dan Duduk Perkaranya
Krisis rusia ukraina | 22 Maret 2022, 20:51 WIBLONDON, KOMPAS.TV - Rusia dan Ukraina sedang berunding agar bisa bersepakat, sementara pertempuran tetap sengit. Integritas wilayah Ukraina bisa jadi ancaman gagalnya perdamaian dan upaya untuk mengakhiri perang.
Turki yang mencoba menengahi mengatakan, kedua pihak hampir mencapai kesepakatan mengenai isu-isu kritis.
Inggris telah memperingatkan bahwa Presiden Vladimir Putin dapat menggunakan pembicaraan damai sebagai tabir asap untuk mengumpulkan kembali pasukan Rusia.
Putin mengatakan "operasi militer khusus" di Ukraina, yang dimulai pada 24 Februari, diperlukan karena Amerika Serikat menggunakan Ukraina untuk mengancam Rusia. Rusia, kata Putin, harus bertahan melawan "genosida" terhadap orang-orang berbahasa Rusia oleh Ukraina.
Sementara Ukraina mengatakan sedang berjuang untuk mempertahankan keberadaannya melawan perampasan tanah gaya kekaisaran Rusia. Kiev juga mengatakan bahwa klaim genosida Putin adalah omong kosong.
Adapun Barat telah memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Rusia yang menurut Kremlin sama dengan deklarasi perang ekonomi oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Sedangkan China telah menyerukan semua pihak untuk tenang.
Berikut adalah beberapa isu seputar kesepakatan damai, seperti dilaporkan Straits Times, Selasa (22/3/2022).
Baca Juga: Zelensky Ingatkan Perang Dunia III Bakal Terjadi jika Perundingan Damai Ukraina dan Rusia Gagal
Apa saja yang jadi masalah utama perundingan?
Wilayah
Wilayah adalah bagian terberat dari perundingan karena menyangkut kedaulatan dan integritas teritorial. Rusia memasukkan Krimea menjadi wilayah Federasi Rusia pada 2014 berdasarkan referendum rakyat Krimea di tahun yang sama. Barat saat ini menyebutnya dengan terminologi 'pencaplokan'.
Selain itu, pada 21 Februari lalu, Rusia resmi mengakui dua wilayah pemberontak yang didukung Rusia di Ukraina timur sebagai negara merdeka. Dua wilayah itu adalah Donetsk dan Lugansk.
Sejak invasi pada 24 Februari 2022, pasukan Rusia menguasai sebagian besar wilayah di sisi selatan Ukraina di utara Krimea, wilayah di sekitar Donetsk dan Lugansk, dan wilayah di timur serta barat Kiev.
Rusia juga menguasai setidaknya 170.000 km persegi wilayah lain dari Ukraina, setara luas wilayah Tunisia atau negara bagian North Dakota di Amerika Serikat.
Ukraina menegaskan tidak akan pernah mengakui kendali Rusia atas Krimea, kemerdekaan wilayah pemberontak yang didukung Rusia di Donetsk dan Lugansk, atau wilayah tambahan yang luas yang diambil oleh Rusia.
Baca Juga: Ukraina Siap Komitmen Tak Jadi Anggota NATO dengan Sejumlah Imbalan Ini
"Posisi kami tidak berubah," kata perunding Ukraina Mykhailo Podolyak.
Dia mengatakan Ukraina bersikeras pada gencatan senjata, penarikan pasukan Rusia, dan jaminan keamanan yang kuat.
Pejabat Ukraina mengatakan, mereka tidak akan menerima pencaplokan wilayahnya atau mengakui wilayah pemberontak yang didukung Rusia di Lugansk dan Donetsk.
Akan sulit bagi pemimpin Ukraina manapun untuk mengakui kedaulatan Rusia pada sepertiga wilayah yang berhasil direbut saat penyerbuan.
Bagi Moskow, pengakuan Ukraina atas kendali Rusia di Krimea, Donetsk dan Lugansk, dan mungkin wilayah utara Krimea yang memberinya jembatan darat ke Krimea, dan kendali atas pasokan air minum untuk semenanjung itu, akan menjadi penting.
Wilayah di sepanjang sisi selatan Ukraina sangat menarik bagi Rusia karena ditambahkan ke Rusia pada tahun 1783 oleh Permaisuri Rusia Catherine the Great setelah kekalahan Kekaisaran Ottoman.
Baca Juga: Inggris Ingatkan Zelensky Tipu Daya Rusia, Perundingan Damai Bisa Jadi Kedok untuk Serangan Baru
Netralitas
Rusia mengatakan ingin Ukraina menjadi negara netral, yaitu tidak memihak atau menjadi anggota blok militer manapun.
Kepala perunding Rusia, Vladimir Medinsky, mengatakan, Ukraina menyebut mereka bisa menerima status netral seperti Austria atau Swedia tetapi dengan tentaranya sendiri. Kiev membantah karakterisasi itu.
Belum jelas bagaimana definisi netralitas yang dimaksud, karena hal itu sangat bergantung pada rincian yang ada dalam kesepakatan.
Saat Uni Soviet runtuh, Parlemen Ukraina dalam Deklarasi Kedaulatan Negara tahun 1990 menyatakan niatnya untuk menjadi negara netral secara permanen.
Medinsky mengatakan ada diskusi tentang seberapa besar tentara Ukraina.
Pada Februari lalu, Putin mengatakan, dia menginginkan jaminan tertulis bahwa Ukraina tidak akan pernah bergabung dengan NATO. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan, Ukraina tidak akan segera menjadi anggota NATO karena anggota NATO tidak akan menerima Ukraina.
Rusia juga telah berulang kali menyuarakan keprihatinan tentang Ukraina yang mengembangkan senjata nuklir. Dalam Memorandum Budapest 1994, Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris memberikan jaminan keamanan kepada Ukraina sebagai imbalan atas kepatuhan Kiev terhadap Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir.
Hak Rusia
Status bahasa Rusia dan orang-orang berbahasa Rusia di Ukraina adalah masalah besar bagi Moskow.
Sebuah undang-undang yang disahkan oleh Ukraina pada tahun 2019 memberikan status khusus untuk bahasa Ukraina dan menjadikannya wajib bagi pekerja sektor publik.
Undang-undang itu mewajibkan semua warga negara untuk mengetahui bahasa Ukraina dan menjadikannya persyaratan wajib bagi pegawai negeri, tentara, dokter, dan guru.
Baca Juga: Perundingan Rusia-Ukraina Berlanjut via Sambungan Video, Berlangsung Sengit tapi Ada Kemajuan
"De-Nazifikasi"
Putin mengatakan Ukraina mengizinkan kelompok neo-Nazi untuk melakukan "genosida" terhadap komunitas berbahasa Rusia di Ukraina.
Batalyon Azov, bagian dari garda nasional Ukraina, dituduh Moskow sebagai organisasi neo-Nazi yang meneror warga sipil Rusia dan melakukan kejahatan perang.
Dibentuk pada tahun 2014 dari sukarelawan yang berperang melawan daerah pemberontak yang didukung Rusia, para pendirinya menyatakan pandangan supremasi kulit putih sayap kanan yang ekstrem dan pandangan anti-Semit atau anti-yahudi. Batalyon Azov tidak membalas permintaan komentar.
Pembantu presiden Ukraina telah berulang kali menyebutkan peran Azov dalam pertahanan kota pelabuhan Mariupol di mana ia berada.
Ukraina menolak klaim genosida semacam itu terhadap penutur bahasa Rusia. Zelensky mengatakan Rusialah yang berperilaku seperti Nazi dengan melakukan penghancuran di kota-kota Ukraina.
Baca Juga: Ukraina Siap Komitmen Tak Jadi Anggota NATO dengan Sejumlah Imbalan Ini
Siapa yang berunding dan bagaimana?
Perundingan tentang upaya untuk mengakhiri konflik dimulai pada 28 Februari, empat hari setelah Putin memerintahkan pasukannya menyerbu Ukraina. Beberapa pembicaraan dilakukan secara langsung di perbatasan Polandia dan Belarusia, sementara yang lain dilakukan melalui konferensi video.
Tim perunding Rusia dipimpin oleh penasihat presiden Rusia, Vladimir Medinsky, seorang Rusia yang lahir di Ukraina saat masih di bawah Soviet.
Medinsky menyebut Ukraina modern sebagai "hantu sejarah" karena "sejarah Ukraina tidak hanya terkait erat dengan sejarah seribu tahun Rus/Rusia/USSR, tetapi juga sejarah Rusia itu sendiri".
Medinsky minggu lalu mengatakan, ada beberapa kemajuan dalam perundingan.
Turki sedang mencoba mendorong kedua belah pihak bersama-sama seperti halnya Israel. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan kepada harian Turki Hurriyet, Rusia dan Ukraina mendekati kesepakatan mengenai isu-isu "kritis."
Cavusoglu optimistis akan adanya gencatan senjata jika kedua pihak tidak mundur dari kemajuan yang sudah dicapai dalam perundingan selama ini.
Zelenskyy, Sabtu (19/3/2022), menyerukan pembicaraan damai yang komprehensif dengan Moskow, termasuk perundingan antara dirinya dan Putin.
Menanggapi itu, Rusia mengatakan, tidak akan ada pertemuan antara Putin dan Zelensky sampai ada kesepakatan yang bisa disepakati.
Tim perunding Ukraina beranggotakan Menteri Pertahanan Oleksii Reznikov dan penasihat presiden, Mikhail Podolyak.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Straits Times