Usulan Zelensky agar Perundingan dengan Putin Digelar di Yerusalem Dinilai sebagai Lawakan
Krisis rusia ukraina | 14 Maret 2022, 18:42 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Usulan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky agar perundingan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin digelar di Yerusalem dinilai sebagai sebuah lawakan.
Hal itu terkait dengan posisi Yerusalem sebagai sebuah kota yang berada di bawah pendudukan Israel.
“Zelensky mengusulkan untuk bertemu Putin (membahas) tentang invasi ilegal terhadap negaranya di sebuah kota yang berada di bawah invasi ilegal. Kalau ini bukan sangat tragis, ini adalah komedi,” tulis Yara Hawari, analis senior di organisasi nirlaba Al Shabaka: The Palestinian Policy Network, dalam sebuah cuitan, Minggu (13/3/2022).
Baca Juga: Zelensky Yakin Israel Bisa Ikut Hentikan Perang Ukraina, Ingin Berunding dengan Rusia di Yerusalem
Sebelumnya, pada Sabtu (12/3/2022), Zelensky mengungkapkan keinginannya untuk berunding dengan Putin di Yerusalem.
Ia menyebut Yerusalem sebagai “tempat yang konstruktif” untuk menggelar perundingan gencatan senjata.
Mantan pelawak itu juga mendukung upaya-upaya Perdana Menteri Israel Naftali Bennett untuk memediasi pengakhiran perang Rusia-Ukraina.
“Saya katakan kepada (Bennett) bahwa saat ini tidak konstruktif untuk menggelar pertemuan di Rusia, Ukraina, atau Belarusia,” kata Zelensky seperti dilansir The Jerusalem Post.
“Apakah saya mempertimbangkan Israel, terutama Yerusalem, untuk menjadi tempatnya? Saya rasa jawabannya adalah ya.”
Baca Juga: Pilot Rusia yang Ditangkap di Ukraina Minta Putin Hentikan Serangan: Kita Sudah Kalah
Status Yerusalem
Seperti dilansir Al Jazeera, Israel menduduki Yerusalem Timur pada akhir Perang 1967 melawan Suriah, Mesir, dan Yordania. Adapun wilayah barat kota tersebut telah dikuasai Israel pada Perang Arab-Israel 1948.
Pendudukan Israel atas Yerusalem Timur membuat keseluruhan kota tersebut berada di bawah kekuasaan de facto Israel.
Namun, yurisdiksi dan klaim kepemilikan Israel atas Yerusalem tidak diakui secara internasional, termasuk oleh Amerika Serikat.
Meskipun kemudian pada 2017, Presiden AS Donald Trump menyebut Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Status Yerusalem tetap menjadi salah satu kendala utama dalam upaya penyelesaian masalah Palestina-Israel hingga kini.
Baca Juga: Presiden Ukraina Zelensky Beri Peringatan ke NATO soal Serangan Rudal Rusia: Hanya Masalah Waktu
Di bawah Rencana Partisi PBB 1947 yang akan membagi Palestina menjadi negara Yahudi dan Arab, Yerusalem diberikan status istimewa dan akan berada di bawah kontrol dan kedaulatan internasional. Hal itu didasari atas posisi penting Yerusalem bagi tiga agama samawi.
Pada perang 1948, menyusul rekomendasi PBB untuk membagi Palestina menjadi dua, pasukan Zionis merebut kendali atas bagian barat Yerusalem dan menyatakan wilayah tersebut bagian dari negaranya.
Pada perang 1967, Israel merebut wilayah bagian timur Yerusalem yang saat itu berada di bawah kontrol Yordania. Israel kemudian mencaplok Yerusalem Timur dengan melanggar hukum internasional.
Pada 1980, Israel mengesahkan “Undang-Undang Yerusalem” yang menyatakan “Yerusalem, lengkap dan bersatu, adalah ibu kota Israel”.
Merespons langkah Israel tersebut, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 478 pada 20 Agustus 1980 yang menyatakan undang-undang tersebut tidak sah.
Pencaplokan Yerusalem Timur oleh Israel melanggar sejumlah prinsip hukum internasional yang menyatakan pihak yang menduduki suatu wilayah tidak memiliki kedaulatan atas wilayah yang didudukinya.
Masyarakat internasional secara resmi memandang Yerusalem Timur sebagai wilayah di bawah pendudukan.
Baca Juga: AS Ungkap Rusia Minta Bantuan Militer China untuk Serang Ukraina, Ini Pembelaan Tiongkok
Penulis : Edy A. Putra Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV