Belanda Minta Maaf atas Kekejaman Saat Perang Kemerdekaan, Indonesia Nyatakan Akan Pelajari Dokumen
Kompas dunia | 19 Februari 2022, 23:33 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah Indonesia menyatakan sedang mempelajari dokumen-dokumen hasil penelitian sejarah perang kemerdekaan Indonesia yang dihasilkan penelitian resmi Belanda, untuk dapat memaknai dengan benar permintaan maaf yang disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah menanggapi permintaan maaf tersebut melalui pesan singkat.
"Kami tengah mempelajari dokumen tersebut agar bisa memaknai secara utuh statement (pernyataan) yang disampaikan PM Rutte tersebut," ucap Faizasyah, seperti dilaporkan Antara, Sabtu (19/2/2022).
Faizasyah mengatakan Pemerintah Indonesia mengikuti secara seksama publikasi hasil penelitian sejarah "Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950".
Studi tersebut dilakukan oleh tiga lembaga peneliti Belanda, KITLV, NIMH dan NIOD, serta beberapa peneliti Indonesia.
Sebelumnya, pada hari Kamis (17/2/2022), Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas penggunaan kekerasan oleh militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Permintaan maaf itu disampaikan Rutte dalam konferensi pers di Brussels, ibu kota Belgia. Rutte mengatakan pemerintahnya mengakui seluruh temuan yang dihasilkan tinjauan sejarah yang bagi Belanda sangat penting.
Menurut penelitian tersebut, Belanda melakukan kekerasan secara sistematis, keterlaluan, dan tidak etis dalam upayanya mengambil kembali kendali atas Indonesia, bekas jajahannya, pasca-Perang Dunia II.
Baca Juga: Kajian Resmi: Belanda Lakukan Kekerasan Berlebihan Saat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Sebelumnya, penelitian dan kajian sejarah resmi yang didanai pemerintah Belanda mempublikasikan temuan yang menyimpulkan, pasukan Belanda menggunakan “kekerasan ekstrem”, seringkali dengan sengaja, selama perang kemerdekaan Indonesia. Sementara pada saat itu, para pemimpin militer dan politikus di Belanda sebagian besar mengabaikan ekses tersebut.
Kekerasan oleh militer Belanda, termasuk tindakan seperti penyiksaan yang sekarang akan dianggap sebagai kejahatan perang, "Sering terjadi dan meluas," kata sejarawan Ben Schoenmaker dari Institut Sejarah Militer Belanda, satu dari lebih dari 24 akademisi yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut.
"Para politikus yang bertanggung jawab (masa itu) menutup mata terhadap kekerasan ini, seperti halnya otoritas militer, sipil dan hukum, mereka membantunya, mereka menyembunyikannya, dan mereka hampir, atau tidak sama sekali menghukum (perbuatan tersebut)," katanya.
Dipercaya sekitar 100.000 orang Indonesia tewas sebagai akibat langsung dari perang, dan meskipun persepsi konflik telah berubah di Belanda, pemerintah Belanda tidak pernah sepenuhnya memeriksa atau mengakui ruang lingkup tanggung jawabnya.
Baca Juga: Kajian Resmi: Belanda Lakukan Kekerasan Berlebihan Saat Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949
Pada hari yang sama, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte langsung menggelar konferensi pers yang isinya permintaan resmi atas nama pemerintah Belanda, setelah penelitian sejarah menemukan bahwa Belanda menggunakan kekerasan berlebihan dalam upaya sia-sia mereka untuk mendapatkan kembali kendali atas bekas jajahannya setelah Dunia Perang II.
PM Belanda Mark Rutte meminta maaf bahwa militer Belanda terlibat dalam kekerasan sistematis, berlebihan dan tidak etis selama perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, yang parahnya disetujui oleh pemerintah dan masyarakat Belanda pada saat itu.
"Kami harus menerima fakta yang memalukan," kata Rutte pada konferensi pers setelah temuan itu dipublikasikan, seperti dilansir Straits Times, Kamis (17/2/2022).
"Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia hari ini atas nama pemerintah Belanda," tegas Rutte.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Antara/Straits Times/France24