Enam Bulan Taliban Berkuasa, Afghanistan Makin Aman, namun Tambah Miskin dan Masa Depan Kian Suram
Kompas dunia | 16 Februari 2022, 03:45 WIBKABUL, KOMPAS.TV - Setelah enam bulan pemerintahan Taliban, Afghanistan merasa lebih aman, tidak terlalu keras dibandingkan dalam beberapa dasawarsa lalu. Namun ekonomi yang dulunya dimotori bantuan asing sedang menuju keruntuhan, seperti dilaporkan Associated Press, Selasa (16/2/2022).
Puluhan ribu warga Afghanistan melarikan diri atau dievakuasi, termasuk sejumlah besar kaum elite berpendidikan.
Mereka takut akan masa depan ekonomi mereka atau kurangnya kebebasan di bawah Taliban, kelompok yang memberlakukan interpretasi Islam yang ketat dan saat memerintah sebelumnya di akhir 1990-an, melarang anak perempuan bersekolah dan melarang perempuan bekerja mencari nafkah.
Selasa, 16 Februari 2022 menandai enam bulan sejak ibu kota Afghanistan, Kabul, diserahkan kepada Taliban dengan kaburnya presiden Afghanistan yang didukung Amerika Serikat itu.
Pengambilalihan Kabul didahului oleh kampanye militer Taliban selama berbulan-bulan untuk menguasai wilayah provinsi, banyak di antaranya jatuh tanpa perlawanan.
Saat ini, pemandangan pejuang Taliban bersenjata yang berkeliaran di jalan masih membuat warga ketakutan.
Tetapi perempuan telah kembali ke jalan, dan banyak lelaki muda mengenakan pakaian Barat lagi setelah awalnya memilih berbusana shalwar kameez tradisional, kemeja panjang dan celana longgar yang disukai oleh Taliban.
Tidak seperti era 1990-an, Taliban mengizinkan beberapa kalangan perempuan untuk bekerja.
Baca Juga: Abaikan Rivalitas demi Kemanusiaan, Pakistan Izinkan India Kirim 50.000 Ton Gandum ke Afghanistan
Kaum perempuan beberapa kembali ke pekerjaan mereka di Kementerian Kesehatan dan Pendidikan, serta di bandara Internasional Kabul, sering kali bekerja bersebelahan dengan laki-laki.
Tapi perempuan masih menunggu untuk kembali bekerja di kementerian lain. Ribuan pekerjaan hilang dalam kemerosotan ekonomi yang parah dan kaum perempuanlah yang paling terpukul.
Taliban menindak unjuk rasa perempuan, melecehkan wartawan, termasuk menahan sebentar dua wartawan asing yang bekerja dengan badan pengungsi PBB, UNHCR, pekan lalu.
Senin (14/2/2022), penahanan beberapa laki-laki muda yang menjual bunga berbentuk hati bertepatan dengan Hari Valentine adalah pengingat yang jelas bahwa pemerintahan Afghanistan baru yang berdasarkan agama dan seluruhnya diisi laki-laki itu, tidak memiliki toleransi terhadap ide-ide romansa Barat.
Gadis-gadis di kelas 1 sampai kelas 6 sekolah dasar telah bersekolah, tetapi mereka yang berada di kelas yang lebih tinggi masih tidak bisa bersekolah di sebagian besar wilayah negara itu.
Taliban berjanji semua gadis akan bersekolah setelah tahun baru Afghanistan pada akhir Maret nanti. Universitas secara bertahap dibuka kembali dan universitas swasta serta sekolah tidak pernah ditutup.
Kemiskinan semakin dalam. Bahkan mereka yang memiliki uang pun kesulitan mengaksesnya.
Di bank, antrean panjang mengular karena penduduk menunggu berjam-jam, kadang-kadang bahkan berhari-hari, untuk menarik uang yang dibatasi hanya 200 dolar AS seminggu.
Lebih dari 9 miliar dolar AS aset Afghanistan di luar negeri dibekukan setelah pengambilalihan oleh Taliban.
Baca Juga: AS Alihkan Setengah Aset Afghanistan untuk Korban 9/11, Aktivis: Gedung Putih Maling!
Pekan lalu, Presiden Joe Biden menandatangani perintah eksekutif yang menjanjikan 3,5 miliar dari 7 miliar dolar aset Afghanistan yang dibekukan di Amerika Serikat, akan diberikan kepada keluarga korban serangan 9/11.
Sementara 3,5 miliar dolar AS lainnya akan dicairkan untuk bantuan kepada Afghanistan.
Warga Afghanistan di seluruh spektrum politik mengecam langkah Gedung Putih tersebut, menuduh Amerika Serikat mencuri uang milik rakyat Afghanistan.
Taliban selama ini berkampanye agar mendapat pengakuan internasional atas pemerintahan mereka yang seluruhnya laki-laki dan anggota Taliban, sementara mereka ditekan untuk menciptakan pemerintahan yang inklusif dan menjamin hak-hak perempuan serta agama minoritas.
Taliban kembali membuka kantor penerbitan paspor, yang dipadati ribuan orang setiap hari. Taliban telah berjanji kepada warga Afghanistan bahwa mereka dapat melakukan perjalanan tetapi hanya dengan dokumen yang tepat.
Mereka yang mencoba pergi tampaknya sebagian besar didorong oleh ketakutan akan ekonomi yang gagal atau keinginan untuk kebebasan yang lebih besar dalam masyarakat yang lebih liberal.
Beberapa pejabat yang terkait dengan mantan pemerintah yang didukung Amerika Serikat juga telah kembali. Salah satu yang kembali, mantan duta besar Omar Zakhilwal, mengatakan dia tidak menemukan adanya dendam dari Taliban.
Dia berharap Taliban akan "menunjukkan lebih banyak keberanian" untuk membuka diri dan menjamin suara minoritas dalam pemerintahan serta melangkah lebih jauh untuk menjamin hak-hak semua warga Afghanistan.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV/Associated Press