> >

Mobilnya Dihujani Tembakan, Perdana Menteri Libya Berhasil Lolos dari Maut

Kompas dunia | 10 Februari 2022, 22:53 WIB
Ilustrasi tembakan dari senapan Kalashnikov AK-47 (Sumber: Thinkstockphotos.com via Kompas.com)

TRIPOLI, KOMPAS.TV – Sekelompok orang bersenjata api menyerang konvoi rombongan Perdana Menteri Libya Abdulhamid Dbeibah di ibu kota Tripoli.

Insiden ini terjadi beberapa jam sebelum parlemen Libya dijadwalkan menggelar sidang untuk memilih perdana menteri yang baru.

Serangan itu terjadi pada Kamis (10/2/2022) dinihari saat sang pemimpin sementara itu tengah pulang ke rumah.

Melansir Al Jazeera pada Kamis (10/2), sejumlah sumber menyebutkan insiden itu sebagai upaya pembunuhan. 

Salah satu peluru berhasil menembus kaca depan mobil, namun sang perdana menteri dan sopirnya berhasil selamat.

Baca Juga: Pengadilan Libya Putuskan Anak Muammar Khadafi Berhak Ikut Pemilu Presiden

Sejumlah sumber menyebut, peluru-peluru itu ditembakkan dari sebuah senjata ringan, kemungkinan senapan Kalashnikov.

Jaksa Agung Libya langsung memerintahkan investigasi atas serangan itu. 

Kantor Perdana Menteri belum merilis pernyataan terkait serangan itu.

Serangan itu terjadi di tengah perselisihan intens menyoal kendali pemerintah antara faksi-faksi.

Dbeibah berjanji melawan upaya musuh-musuhnya yang hendak menggantikannya.

Sejak pemberontakan yang didukung NATO berhasil menggulingkan mantan pemimpin Libya Muammar Khadafi pada 2011, Libya boleh dibilang tak pernah benar-benar damai.

Pada 2014, negara itu terpecah antara faksi-faksi di timur dan barat.

Baca Juga: Saif al-Islam al-Gaddafi Resmi Calonkan Diri Jadi Presiden Libya pada Pemilu Bulan Depan

Dbeibah, seorang pengusaha berpengaruh dari Misrata, pada Maret ditunjuk menjadi kepala Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) yang didukung PBB.

Ia ditugaskan memimpin negara itu hingga digelar pemilihan pada 24 Desember.

Ia diberi peran sementara dengan catatan tidak mengikuti pemilihan.

Namun, ia mendeklarasikan diri sebagai kandidat pada November.

Langkah ini dianggap tak adil oleh banyak kalangan. 

Pemilihan itu akhirnya dibatalkan di tengah perselisihan antara faksi-faksi yang bersaing menyoal undang-undang pemilihan.

Parlemen yang sebagian besar anggotanya mendukung pasukan timur selama perang negara itu kemudian menyatakan bahwa GNU tak valid.

Menteri Dalam Negeri Libya Fathi Bashagha saat berbicara dalam sebuah konferensi pers di Tunis, Tunisia, pada 26 Desember 2019. Bashagha menjadi salah seorang kandidat pemimpin sementara Libya. (Sumber: AP Photo / Hassene Dridi)

Pada Kamis (10/2), parlemen dijadwalkan memilih pemimpin sementara yang baru antara dua kandidat, yakni mantan menteri dalam negeri yang berkuasa Fathi Bashagha (59), dan seorang mantan pejabat di kementerian itu, Khaled al-Bibass (51).

Pemungutan suara itu seperti mengulang skema 2014, yang memunculkan dua pemerintahan paralel.

Baca Juga: Sadis! Tentara Libya Tembak Mati Enam Imigran di Pusat Penahanan

Pada awal pekan ini, Dbeibah menyatakan, ia akan melawan upaya perlawanan dari parlemen yang berbasis di kota Tobruk di timur yang hendak melengserkan pemerintahannya yang berbasis di Tripoli.

“Saya tak akan menerima fase transisional yang baru atau otoritas paralel,” ujarnya seraya mengimbuhkan: “Pemerintahan saya hanya akan menyerahkan kekuasaan pada ‘satu pemerintahan terpilih”.

PBB dan negara-negara Barat, juga sejumlah anggota parlemen telah meminta Dbeibah agar tetap dalam perannya hingga saat pemilihan.

Namun tanggal baru untuk pemungutan suara masih belum ditentukan.

Penulis : Vyara Lestari Editor : Deni-Muliya

Sumber : Al Jazeera


TERBARU