> >

Ukur Dampak Krisis Iklim Pakai Kelembaban, Ilmuwan: Kerusakannya Dua Kali Lipat Lebih Parah

Kompas dunia | 3 Februari 2022, 01:49 WIB
Ilustrasi. Citra satelit menunjukkan siklon tropis Mindulle mendekati Jepang pada 30 September 2021. Krisis iklim menyebabkan udara semakin lembab dan berujung cuaca ekstrem. (Sumber: NASA via Associated Press)

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Sekelompok ilmuwan dari Amerika Serikat (AS) dan China menggunakan metode berbeda untuk mengukur dampak krisis iklim empat dekade terkini.

Tim ilmuwan tersebut memasukkan tingkat kelembaban Bumi sebagai faktor untuk mengetahui dampak krisis iklim.

Hasilnya, krisis iklim dilaporkan berdampak dua kali lebih parah sejak 1980-an dibanding perhitungan sebelumnya yang hanya menggunakan temperatur permukaan Bumi.

Temuan itu dirilis dalam prosiding National Academy of Sciences AS, Senin (31/1/2022).

Menyertakan tingkat kelembaban untuk melengkapi faktor temperatur Bumi dipandang menghasilkan kesimpulan lebih akurat.

Pasalnya, energi yang dihasilkan cuaca ekstrem terkait dengan tingkat kelembaban udara.

“Terdapat dua penggerak perubahan iklim: temperatur dan kelembaban. Dan sejauh ini, kita hanya mengukur pemanasan global dalam pengertian temperatur,” kata salah satu peneliti, V. Ramanathan dikutip Associated Press.

Baca Juga: MUI: Manusia Serakah Jadi Penyebab Krisis Iklim dan Bencana

Menurutnya, dengan menambahkan faktor kelembababan, “cuaca ekstrem—gelombang panas, hujan, dan bentuk ekstrem lainnya berkorelasi dengan amat lebih baik.”

Ramanathan menyebut, seiring dunia semakin panas, kelembaban udara semakin tinggi.

Suhu Bumi disebut sudah memanas hingga 7% sejak 1980-an.

Sebelumnya, diketahui bahwa pada kurun 1980-2019, Bumi memanas hingga 0,79 derajat Celsius.

Namun, setelah ilmuwan memasukkan kelembaban sebagai faktor, Bumi memanas hingga 1,48 derajat Celsius atau nyaris dua kali lipat.

Pemanasan terjadi lebih parah di daerah tropis, yakni sekitar 4 derajat Celsius.

Ramanathan menambahkan, kelembaban tinggi di daerah tropis membuat badai terjadi lebih sering, baik badai biasa ataupun siklon tropis serta muson.

“Peningkatan energi laten yang dilepaskan di udara berujung pada cuaca ekstrem: banjir, badai, dan kekeringan,” kata Ramanathan.

Baca Juga: Dampak Krisis Iklim: Kekeringan Parah dan Kelaparan Ancam Jutaan Jiwa di Tanduk Afrika

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Deni-Muliya

Sumber : Associated Press


TERBARU