Tujuh Tahun Berlalu, Keluarga Korban Pesawat MH17 Masih Rasakan Trauma Mendalam
Kompas dunia | 7 September 2021, 07:17 WIB
AMSTERDAM, KOMPAS.TV – Meskipun peristiwa jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17 telah berlalu tujuh tahun lamanya, namun duka mendalam masih dirasakan keluarga korban hingga saat ini. Hal ini terungkap dalam sidang kasus jatuhnya pesawat MH-17 di Amsterdam, Belanda, Senin (6/9/2021).
Sejak ayah dan ibu tirinya meninggal dalam jatuhnya pesawat Malaysia Airlines MH17, Ria van der Steen menghadapi perasaan benci, balas dendam, marah, dan takut. Ternyata dia tidak sendirian, dalam persidangan terungkap, keluarga korban yang lain pun masih merasakan duka yang mendalam hingga saat ini.
Sander Essers masih merasa bersalah atas kematian saudaranya. Dan bagi Peter van der Meer, Hari Ayah telah menjadi salah satu hari paling mengerikan setiap tahun, setelah dia kehilangan tiga putrinya yang berusia 12, 10 dan 7 dalam kecelakaan itu.
"Saya adalah seorang ayah tanpa anak, ayah tanpa anak. Hal ini sudah berlangsung selama tujuh tahun, dan akan terus terjadi selama bertahun-tahun yang akan datang," ujarnya dalam pidato yang sangat emosional.
Akhirnya, kerabat dari 298 penumpang dan awak yang tewas pada tragedi 17 Juli 2014, memiliki kesempatan untuk berbicara di pengadilan. Di bawah hukum Belanda, kerabat diizinkan untuk membuat pernyataan mengenai dampak yang mereka rasakan kepada pengadilan, tanpa perlu ditanya. Sekitar 90 orang berencana untuk melakukannya selama tiga minggu ke depan. Beberapa keluarga korban berbicara melalui video dari negara lain.
Baca Juga: Fakta Canggihnya Poseidon Milik AS, Pernah Ikut Pencarian Malaysia Airlines MH370
“Saya pikir mungkin di samping putusan pengadilan, ini adalah salah satu hari terpenting bagi anggota keluarga, karena mereka dapat berbicara kepada pengadilan. Melalui forum ini, mereka berbicara kepada tersangka dan juga kepada orang-orang yang bertanggung jawab di mana pun mereka bersembunyi. Jadi ini adalah bentuk komunikasi dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas bencana ini," kata Peter Langstraat, seperti dikutip dari The Associated Press.
Van der Steen adalah orang pertama yang bersaksi pada hari Senin (6/9/2021). Ia menceritakan tentang konsekuensi psikologis dari peristiwa tersebut yang terus menghantuinya.
Semua keluarga korban berpakaian hitam di ruang sidang di Bandara Schiphol, Amsterdam. Van der Steen menceritakan, ia kerap mengalami mimpi buruk dan kerap terbangun di tengah malam sambil berteriak mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang yang dicintainya.
"Saya harus sering mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Tapi pertanyaannya adalah, berapa kali Anda bisa mengucapkan selamat tinggal, ketika perpisahan ini untuk selamanya?"
Van der Steen mengatakan, dia mulai mengalami mimpi buruk setelah menerima kabar kematian ayahnya yang sedang dalam perjalanan liburan ke Kalimantan. Dalam mimpinya, dia berjalan melintasi sebuah ladang di Ukraina, untuk mencari ayahnya dan memberi tahu dia bahwa dia telah meninggal.
Baca Juga: Investigasi Kasus Jatuhnya Pesawat MH17 Berlanjut, Rusia Dimintai Keterangan
"(Dalam mimpi), saya melihat puing-puing, tubuh dan barang-barang pribadi. Saya tidak bisa berhenti menangis sampai saya terbangun sambil berteriak," ujarnya.
Setelah peristiwa yang mengguncang jiwanya itu, van der Steen akhirnya mengetahui bahwa ayahnya telah diidentifikasi berkat sepotong kecil tulang tangannya.
“Kami juga menerima berita bahwa sepotong kecil tulang ibu tiri saya, Neeltje, telah ditemukan dan dia juga telah diidentifikasi,” kata van der Steen. Ia mengingat betapa hatinya hancur ketika menyaksikan dua tas kecil berisi tulang ayah dan ibu tirinya.
"Saya tahu itu mereka, tetapi secara emosional saya tidak mau menerimanya," katanya kepada pengadilan.
Kepedihan yang sama juga dirasakan Essers, yang kehilangan saudara laki-lakinya, Peter. Essers mengatakan, Peter meneleponnya sekitar 20 menit sebelum naik ke pesawat.
"Dengan suara muram dia berkata kepadaku. Sander, aku takut aku tidak akan kembali hidup-hidup karena Kami terbang di atas zona perang. Dia sangat ketakutan dan bertanya kepada saya apakah dia harus naik pesawat atau tidak."
Baca Juga: Potret Bangkai Pesawat Boeing MH17 yang Diduga Ditembak Rudal Buk Rusia
Essers mengatakan dia merasa dia harus meyakinkan saudaranya. "Saya sering tiba-tiba merasa bahwa saya harus disalahkan atas kematiannya," katanya.
Serangkaian persidangan kasus pesawat MH17 dibuka pada Maret 2020 dan berkembang melalui serangkaian sidang pendahuluan yang panjang. Kasus kompleks ini diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan.
Jaksa mengatakan pesawat itu hancur di udara ketika dihantam oleh sistem rudal Buk yang diangkut dengan truk ke Ukraina dari pangkalan militer Rusia pada tahun 2014. Namun Rusia membantah terlibat dalam penembakan itu.
Penulis : Tussie Ayu Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV/The Associated Press