> >

Hanya Bawa Baju Satu Kering di Badan, Kisah Warga Afghanistan 3 Hari ke Bandara Kabul Cari Selamat

Kompas dunia | 29 Agustus 2021, 06:50 WIB
Salah satu kisah warga Afghanistan menyelamatkan diri ke Bandara Kabul untuk keluar Afghanistan dan menghindari berada di bawah Pemerintahan Taliban. Tampak di sini perempuan mengenakan burka, satu-satunya pakaian yang bisa dia kenakan sejak menyelamatkan diri (Sumber: Giuseppe Cacace/Straits Times via AFP)

ABU DHABI, KOMPAS.TV - Wazhma meninggalkan segalanya untuk melarikan diri dari kekuasaan Taliban setelah kelompok garis keras itu menguasai Afghanistan, seraya bercita-cita untuk hidup "bebas dari ancaman" di Amerika Serikat dan memberi kehidupan lebih baik untuk anak-anaknya.

Di sebuah fasilitas di Uni Emirat Arab yang menampung sementara pengungsi Afghanistan sebelum menuju ke negara lain, mahasiswa kedokteran berusia 21 tahun itu berjuang pada Sabtu untuk mengatasi teror yang dia alami selama hari-hari terakhir di rumah.

"Suami saya bekerja untuk kedutaan Amerika Serikat. Mereka (Taliban) akan membunuh kami jika kami tetap tinggal," kata Wazhma dalam bahasa Inggris, hanya beberapa jam sebelum dia dijadwalkan naik penerbangan menuju Amerika Serikat, seperti dilansir France24, Minggu (29/08/2021).

"Saya hanya mengenakan pakaian itu. Tidak lebih."

Perempuan Afghanistan itu termasuk di antara puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri dari ibu kota Kabul setelah Taliban masuk dan ditempatkan di jalan-jalan pada pertengahan Agustus.

Wazhma, suaminya, saudara ipar, dan keponakannya menghabiskan "tiga hari terlama" dalam hidup mereka di jalan, bergerak secara rahasia sampai mereka mencapai gerbang Bandara Kabul di mana personel AS sedang menunggu mereka.

Baca Juga: Taliban Klaim Tangkap Enam Personel ISIS di Kabul, Dua Diantaranya Warga Malaysia

Seorang anak Afghanistan yang berhasil keluar dari negara itu sedang menunggu pemeriksaan kesehatan di fasilitas penampungan sementara di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. (Sumber: Giuseppe Cacace/Straits Times via AFP)

"Situasinya sangat buruk. Alhamdulillah kami selamat," katanya sambil memeluk erat keponakannya yang masih bayi.

Ketika ditanya apakah dia akan kembali, dia tertawa berkata, "Tidak pernah, hanya jika Taliban pergi."

Dia mengatakan kelompok Islam garis keras itu tidak akan pernah mengubah kebijakan diskriminatif terhadap perempuan meskipun meskipun kelompok Taliban berjanji akan lebih lembut daripada saat terakhir mereka berkuasa antara tahun 1996 dan 2001, sebelum AS memimpin invasi setelah serangan 11 September.

"Saya senang saya pergi. Satu-satunya hal yang saya khawatirkan sekarang adalah ibu, ayah, saudara perempuan dan saudara laki-laki saya," kata Wazhma.

Sementara itu, di Kabul, upaya evakuasi mencapai tahap akhir pada hari Sabtu di tengah kekhawatiran serangan teror baru setelah bom bunuh diri yang diklaim ISIS dua hari sebelumnya dan menewaskan sejumlah warga sipil serta 13 anggota tentara Amerika di dekat bandara.

Dengan waktu evakuasi udara yang makin sempit, menjelang tenggat waktu 31 Agustus, lebih dari 5.000 orang masih berada di dalam bandara Kabul menunggu evakuasi. Sementara kerumunan terus memadati gerbang perimeter memohon untuk masuk.

Baca Juga: Kabur dari Taliban, Wali Kota Perempuan Pertama Afghanistan Sedih Harus Tinggalkan Negaranya

Petugas Uni Emirat Arab sedan membantu mengurus warga Afghanistan yang ditampung sementara di Kota Kemanusiaan Internasioal di Abu Dhabi untuk pergi ke negara ketiga. (Sumber: Giuseppe Cacace/Straits Times via AFP)

Seorang pengungsi Afghanistan, Naim, ayah dari lima anak yang bekerja sebagai penerjemah untuk tentara Amerika Serikat, mengaku segera bersembunyi ketika Taliban merebut ibu kota pada 15 Agustus lalu.

Dia dan keluarganya berhasil melarikan diri ke bandara, di mana mereka menghabiskan tiga malam sampai sebuah pesawat militer Amerika Serikat menerbangkan mereka ke Uni Emirat Arab.

"Kami takut mereka akan membunuh kami," kata pria 34 tahun itu kepada AFP, seperti dilansir France24, saat dia duduk di sebelah istrinya, tiga putri dan dua putra.

"Saya hanya mengambil pakaian anak-anak saya dan kartu identitas kami. Kami kehilangan segalanya, karpet, sofa, pakaian bayi. Semua hilang," katanya.

"Saya hanya ingin anak-anak saya memiliki kehidupan yang baik," kata Naim berkaca-kaca.

Laki-laki, perempuan, dan anak-anak Afghanistan lainnya berkumpul di sebuah fasilitas sementara di ibu kota Uni Emirat Arab, Abu Dhabi. Beberapa terlihat meminum jus buah dalam kotak kecil dan yang lainnya duduk di kursi putih dekat kamar yang ramai dengan staf medis.

Mereka menunggu dengan gugup sebelum menuju ke bandara untuk naik pesawat ke AS.

Seorang anak perempuan Afghanistan muda, dalam gaun urutan hitam-emas, dengan sabar menunggu gilirannya untuk pemeriksaan medis, sambil mengayunkan kakinya ke depan dan ke belakang saat dia bermain dengan boneka beruang.

Baca Juga: Sempat Dipersulit Taliban, Pria Ini Berhasil Evakuasi 200 Anjing dan Kucing dari Afghanistan

Warga Afghanistan menjejali Bandara Kabul, berharap bisa keluar negara itu menghindari kekuasaan Taliban. (Sumber: The New York Times)

Negara-negara Teluk, termasuk Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar, yang menjadi tuan rumah bagi Amerika Serikat dan pasukan Barat lainnya, berperan sangat penting dalam upaya evakuasi dan menawarkan jalan penting bagi warga Afghanistan untuk mendapatkan kehidupan baru di negara ketiga.

Uni Emirat Arab, pada hari Kamis lalu mengatakan, mereka telah membantu mengevakuasi 28.000 orang dari Afghanistan, dan menampung 8.500 pengungsi secara sementara sampai mereka menuju ke Amerika Serikat dalam beberapa hari ke depan.

Sekitar 109.000 orang telah diterbangkan keluar Afghanistan sejak 14 Agustus, satu hari sebelum Taliban berkuasa, kata pemerintah Amerika Serikat.

Beberapa negara - termasuk Prancis, Inggris dan Spanyol - mengumumkan penghentian pengangkutan udara mereka pada hari Jumat, mengikuti negara-negara lain seperti Kanada dan Australia awal pekan ini.

PBB mengatakan sedang bersiap untuk "skenario terburuk" untuk menangani kira-kira setengah juta tambahan pengungsi dari Afghanistan pada akhir 2021.

Meskipun Taliban menjanjikan bentuk pemerintahan yang lebih lembut, banyak warga Afghanistan takut akan pengulangan interpretasi brutal mereka terhadap hukum Islam, serta pembalasan terhadap mereka yang bekerja dengan militer asing, misi Barat atau pemerintah yang didukung Amerika Serikat sebelumnya.

 

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV/France24/AFP


TERBARU