Ini Lima Mitos tentang Taliban, Salah Satunya Menyebut Keterlibatan Pakistan, Benarkah?
Kompas dunia | 29 Agustus 2021, 00:06 WIBKABUL, KOMPAS.TV – Kembalinya Taliban menguasai Afghanistan setelah terusir invasi Amerika Serikat (AS) selama dua dekade, menimbulkan beragam pertanyaan. Termasuk tentang bagaimana kelompok milisi itu bisa dengan begitu cepat menguasai Afghanistan dan apakah rezim mereka yang terkenal kejam telah berubah.
Kebangkitan kembali Taliban di Afghanistan pula menghidupkan sejumlah mitos yang diyakini berbagai kalangan.
Disarikan dari The Washington Post, Jumat (27/8/2021), ini dia lima mitos tentang Taliban:
1) Pakistan mengendalikan Taliban
Taliban dianggap sebagai perpanjangan tangan Pakistan, hingga tagar #SanctionPakistan atau #HukumlahPakistan pun trending di media sosial sebagai respons dari pergerakan militer Taliban di Afghanistan. Presiden Afghanistan terguling Ashraf Ghani juga telah lama menyalahkan Pakistan atas kebangkitan kembali Taliban, demikian pula para analis Barat.
Benar bahwa Taliban tak dapat kembali bangkit sendiri setelah 2001 tanpa dukungan, perlindungan dan pendanaan dari badan intelijen utama Pakistan ISI, dan sejumlah aktor Pakistan lainnya.
Namun, ini sungguhlah hubungan yang rumit: Taliban amat sangat membenci upaya-upaya Pakistan untuk mempertahankan Taliban.
Pada Februari 2010, contohnya, ISI menangkap Abdul Ghani Baradar – waktu itu wakil pemimpin Taliban – setelah ia menegosiasikan kesepakatan damai dengan Presiden Afghanistan saat itu, Hamid Karzai, tanpa seizin Pakistan. Pembebasan Baradar diupayakan pada 2018 setelah utusan AS Zalmay Khalilzad turun tangan.
Baca Juga: Anggota Kongres AS Tuduh Pakistan Dukung Taliban, Miliki Peran Penting Kuasai Afghanistan
Banyak pihak di Taliban pula menyalahkan Pakistan atas kematian pemimpin kedua dalam kelompok itu, Akhtar Mohammad Mansour, dalam serangan drone AS pada 2016 di Provinsi Baluchistan, Pakistan.
Taliban berulang kali menolak tekanan Pakistan. Pakistan memang menghadapi permintaan dari AS dan Afghanistan untuk membawa Taliban ke meja perundingan.
Namun, upaya Pakistan mendorong kelompok milisi itu untuk berunding, terutama pada perundingan Murree di tahun 2015, menjadi bumerang saat banyak anggota senior Taliban menolak menghadirinya. Beberapa anggota Taliban bahkan meninggalkan Pakistan untuk menghindari pembalasan atas keputusan mereka.
Baru-baru ini, Taliban juga berupaya memperluas hubungan diplomatik dengan China, Rusia, Indonesia dan bahkan Iran, untuk mengurangi cengkeraman Pakistan.
2) Taliban terpecah belah dengan mudah
Benar bahwa Taliban bukanlah kelompok homogen. Para pemimpinnya harus mengakomodasi para komandan dan pasukan dengan kepentingan dan sudut pandang yang beragam, hingga terkesan longgar di tingkat lokal. Proses transisi dari berperang melawan pemberontak hingga memerintah negara, kian mempertajam kesalahan-kesalahan Taliban.
Tapi, Taliban telah menunjukkan diri sebagai organisasi yang kompak dan disiplin. Taliban tetap menjaga garis komando yang jelas dan menghindari perpecahan signifikan atau pertikaian antar faksi.
Setelah krisis suksesi pasca kematian Mohammad Omar pada 2013, Taliban bahkan bangkit dengan lebih kuat. Taliban mengusir ISIS dari benteng-benteng mereka di timur Afghanistan, memerintahkan mereka untuk mematuhi beberapa gencatan senjata sementara dan pengurangan kekerasan.
3) Taliban punya rencana dalam memerintah Afghanistan
Kendati dilaporkan hendak mendirikan pemerintahan Emirat Islam Afghanistan, Taliban ternyata tak punya cetak biru atau master plan pasca kemenangannya menguasai Afghanistan. Lewat pernyataan publiknya, Taliban bahkan terkesan terkejut dan tak menyangka bakal menuai kemenangan kilat, hingga tak siap.
Para pemimpin Taliban hanya memaparkan kiasan tentang bentuk pemerintahan yang hendak mereka bangun. Sejumlah pihak memperkirakan, ini hanyalah trik untuk menyembunyikan niat asli kelompok itu.
Baca Juga: Taliban Sedang Membentuk Pemerintahan Inklusif, Libatkan Pemimpin Muda Seluruh Etnis dan Suku
Mungkin banyak anggota Taliban yang membayangkan kembalinya pemerintahan Emirat Islam dan semacamnya. Namun, hanya ada sedikit konsensus di antara para pemimpin Taliban tentang bagaimana pemerintahan nanti akan berjalan, atau tentang isu-sisu tata kelola utama pemerintahan. Ini menjelaskan mengapa Taliban membutuhkan waktu lama untuk membentuk pemerintahan.
Sementara ini, para pemimpin Taliban tengah berupaya menenangkan kekhawatiran komunitas internasional dan mengulur waktu dengan menyatakan bahwa mereka tengah mendiskusikan “pembentukan pemerintahan yang diterima oleh seluruh rakyat Afghanistan”.
4) Taliban akan membawa kembali Al-Qaeda
Penolakan Taliban untuk menyerahkan Al-Qaeda setelah serangan 9/11 menjadi pembenaran utama perang AS di Afghanistan. Kini saat Taliban kembali berkuasa, ada kekhawatiran bahwa Al-Qaeda pun akan kembali.
Nathan Sales, mantan koordinator Departemen Luar Negeri AS untuk antiterorisme, menyatakan pada New York Times, “Sudah jelas bahwa Al-Qaeda akan kembali menciptakan sarang yang aman di Afghanistan dan menggunakannya untuk merencanakan serangan terorisme terhadap AS dan sekutunya.”
Baca Juga: Taliban, Al-Qaeda dan ISIS Ternyata Bertolak Belakang dan Sering Baku Bunuh, Simak Kisah Mereka
Taliban tak pernah meninggalkan atau memutuskan hubungan dengan Al-Qaeda. Namun, untuk mengamankan jaminan politik bagi penarikan pasukan AS, bagaimanapun, Taliban harus berjanji mencegah Afghanistan digunakan sebagai basis serangan ke negara-negara Barat.
Para pemimpin Taliban yakin, mereka dapat memenuhi janji ini. Lantaran, jumlah petempur Al-Qaeda di Afghanistan diperkirakan oleh pakar AS telah menipis hingga ratusan orang.
Taliban yang tak tertarik dengan jihad internasional pun, tampaknya tak mengizinkan Al-Qaeda terbentuk kembali, mengingat konsekuensi keras yang akan mereka terima jika membiarkan hal itu terjadi.
Kebangkitan kembali Al-Qaeda di Afghanistan sesungguhnya tak terhindarkan, dan akan banyak bergantung dengan bagaimana komunitas internasional menghadapi Taliban sekarang.
5) Taliban tidak merefleksikan keragaman Afghanistan
Dulu, di tahun 1990-an, Taliban didominasi oleh kelompok etnis terbesar di Afghanistan, Pashtun. Namun, pengambilalihan kekuasaan Afghanistan oleh Taliban kini, jauh melampaui dominasi Pashtun-nya.
Meski kepemimpinan Taliban masih didominasi oleh para pendirinya yang orang Pashtun, namun kalangan komandan di tingkat menengah dan bawah terdiri dari beragam suku.
Beberapa tahun belakangan, Taliban berupaya menampilkan citranya sebagai kelompok multietnis dengan menunjuk sejumlah pejabat lokal dari kalangan Tajik dan Hazara. Taliban pula berusaha meyakinkan komunitas Syiah bahwa mereka dapat melaksanakan ibadah berbeda dengan damai.
Namun, kaum Syiah tetap skeptis, terutama karena eksekusi Taliban terhadap sejumlah warga Hazara pada Juli lalu. Pun, sejarah kekejaman Taliban terhadap komunitas Syiah sebelum serangan 9/11.
Baca Juga: Laporan Amnesty International Ungkap Kekejian Taliban Bantai Minoritas Hazara di Afghanistan
Penulis : Vyara Lestari Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : The Washington Post