Taliban Berkuasa, Musisi Ini Khawatir Afghanistan Kembali Jadi "Bangsa yang Sunyi"
Kompas dunia | 23 Agustus 2021, 05:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Direktur Institut Musik Nasional Afghanistan Ahmad Naser Sarmast sangat khawatir upayanya memperkenalkan musik kepada anak-anak Afghanistan kembali menemui jalan buntu setelah Taliban berkuasa.
Selama lebih dari satu dekade, sejak dia kembali ke negaranya pada 2008 silam pascakejatuhan Taliban, Sarmast seorang etnomusikologi bergelar Ph.D ini mengumpulkan anak-anak agar mencintai musik.
Upaya ini dilandasi oleh keyakinan bahwa musik bisa membawa perubahan. Terbukti, seorang gadis kecil yang dia temui di jalanan, yang kemudian dia didik berhasil menjadi konduktor perempuan pertama.
"Saat ini perhatian utama saya pada keselamatan anak-anak didik saya dan masa depan mereka," kata sarmast kepada The Guardian. Sarmast meninggalkan Afghanistan sebulan sebelum Taliban berkuasa untuk berobat sekaligus liburan.
Baca Juga: Pasca Taliban Berkuasa, Bagaimana Nasib Hubungan Bilateral Indonesia - Afghanistan?
Kekhawatiran Sarmast sangat beralasan, dia masih teringat era tahun 1990-an, saat Taliban berkuasa, musik dilarang. Tak seorang pun yang berani bermain musik atau sekadar mendengarkannya. Saat itu, Afghanistan disebutnya "Bangsa yang Sunyi", karena tak ada musik. "Orang-orang tidak bisa mendengarkan keindahan musik," katanya.
Saat Taliban berkuasa, mereka mengharamkan musik. Masyarakat yang kedapatan bermain atau mendengarkan musik bakal kena hukuman. Biasanya hukuman yang diberikan beragam seperti dicukur rambutnya sebelah atau dipaksa jalan tanpa alas kaki.
Sarmast telah mendirikan institut musiknya pada 2010 dengan 350 siswa. Di sekolah musiknya, sarmast memperkenalkan kesetaraan etnis dan gender. "Awalnya hanya seorang siswa perempuan dan sekarang sepertiga siswa adalah perempuan," kenang Sarmast.
Meski pun Sarmast tinggal dalam masyarakat konservatif yang mengharamkan musik, apalagi bagi perempuan, namun dia terus memberikan dorongan kepada masyarakat Afghanistan.
Namun upaya Sarmast harus dibayar mahal. Pada 2014, saat menggelar pertunjukan di Pusat Kebudayaan Prancis di Kabul, bom tiba-tiba meledak. Sarmast selamat namun tidak sadarkan diri dan pendengarannya terganggu. Setelah mengalamai perawatan di Australia, semua normal kembali dan bisa mengajar lagi.
Baca Juga: Pasca Taliban Berkuasa, Bagaimana Nasib Hubungan Bilateral Indonesia - Afghanistan?
Kini dia berharap Taliban tidak menutup sekolah musiknya. "Dampaknya bukan hanya pada para siswa yang kehilangan impian, tapi juga bagi sebuah bangsa," ujar orang pertama peraih gelar Ph.D bidang musik dari Afghanistan ini.
"Saya tidak bisa membayangkan sebuah bangsa tanpa musik, akan jadi masyarakat yang tuli. Saya tidak tahu apakah bisa bertahan. Anda tidak bisa merebut musik dari hati masyarakat," katanya.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV