Kisah Ashraf Ghani, dari Presiden Afghanistan Menjadi Orang Terbuang yang Bersembunyi
Kompas dunia | 20 Agustus 2021, 06:15 WIBKABUL, KOMPAS.TV - Jika ada yang seharusnya tahu cara memperbaiki Afghanistan, itu adalah Ashraf Ghani. Sebelum menjadi presiden pada tahun 2014, Ghani menghabiskan sebagian besar hidupnya mempelajari bagaimana mendorong pertumbuhan di negara-negara miskin, seperti dilansir Bloomberg, Kamis (19/08/2021).
Sarjana lulusan program Fulbright dengan gelar doktor dari Universitas Columbia ini sempat mengajar di beberapa lembaga akademis elite Amerika sebelum bertugas di Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kemudian, ia ikut menulis Fixing Failed States: A Framework for Rebuilding a Fractured World.
Ghani melarikan diri dari Afghanistan pada hari Minggu (15/08/2021), dan keberadaannya menjadi misteri sebelum Uni Emirat Arab mengumumkannya tiga hari kemudian. Dia dan keluarganya berada di negara Teluk Persia "atas dasar kemanusiaan".
Rusia mengklaim dia meninggalkan Afghanistan dengan empat mobil dan helikopter penuh uang, sesuatu yang dibantah Ghani dalam pesan video yang dirilis Rabu (18/08/2021).
Di Afghanistan, dia kini menjadi penjahat. Kepala bank sentralnya dan anggota kunci pemerintahannya kini mencelanya di depan umum. Upaya untuk menghubungi Ghani atau pembantu dekatnya tidak berhasil.
"Saya harus pergi dari Afghanistan untuk mencegah Kabul dari pertumpahan darah dan kehancuran," kata Ghani dalam video itu.
Dia mengaku bergegas pergi tanpa barang-barang setelah pejabat keamanan memperingatkannya bahwa para pejuang Taliban ingin mengeksekusi dirinya sama seperti mantan Presiden Mohammad Najibullah yang tubuhnya digantung di lampu lalu lintas oleh pejuang Taliban pada tahun 1996.
"Mereka pergi dari kamar ke kamar untuk menemukan saya," kata Ghani.
"Keputusan mereka adalah, apapun yang terjadi 25 tahun lalu akan terulang kembali. Presiden Afghanistan sekali lagi akan digantung di depan mata rakyat, dan sejarah memalukan seperti itu akan terulang kembali."
Dalam banyak hal, kejatuhan Ghani yang sangat cepat mencerminkan kegagalan AS yang memaksakan sebuah pemerintah di Afghanistan, negara dengan sejarah panjang pertempuran di medan perang daripada di kotak suara.
Baca Juga: Hari Kemerdekaan Afghanistan, Taliban Patroli di Kota Kabul dan Jamin Keamanan Warga
Meskipun dia adalah seorang Pashtun, kelompok etnis yang dominan di negara itu, Ghani dipandang sebagai orang luar yang tidak memiliki sentuhan politik untuk menyatukan faksi-faksi yang berbeda, dan dia menjadi lebih terisolasi dari waktu ke waktu.
"Ghani tidak mengakomodasi realitas bagaimana Afghanistan bekerja," kata Kabir Taneja, penulis The ISIS Peril: The World's Most Feared Terror Group and its Shadow on South Asia dan seorang peneliti di Observer Research Foundation di New Delhi.
"Dia entah tidak mengerti atau tidak bisa memahami para panglima perang, yang pada dasarnya adalah orang-orang yang mewakili garis etnis dan kesukuan."
Setelah invasi Amerika Serikat tahun 2001, Ghani kembali ke Afghanistan untuk pertama kalinya setelah lebih dari seperempat abad, dan menjabat selama dua tahun sebagai menteri keuangan dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Hamid Karzai.
Setelah itu, Ghani menjadi kesayangan lembaga bantuan internasional, berbicara di Ted Talks, menulis opini di surat kabar utama dan berbicara di berbagai konferensi.
Pada satu titik bahkan Ghani dianggap sebagai calon sekretaris jenderal PBB.
Menyusul gagalnya pencalonan presiden pada 2009, Ghani bergabung dengan beberapa politikus Afghanistan terkemuka, termasuk panglima perang berpengaruh yang menjadi wakil presiden, Abdul Rashid Dostum, untuk memenangkan jabatan puncak lima tahun kemudian.
Tapi kemenangannya dirusak sejak awal: John Kerry, yang saat itu diplomat top Amerika, terbang ke Kabul untuk mencomblangi terbentuknya pemerintah persatuan lalu memberi saingan utamanya posisi "kepala eksekutif", sebuah gelar yang tidak muncul di mana pun dalam konstitusi model AS di Afghanistan.
Baca Juga: Perayaan Hari Kemerdekaan Afghanistan, Sedikitnya 2 Tewas Akibat Kekerasan Taliban
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV/Bloomberg