Iran Pilih Presiden Baru, Ebrahim Raisi Raih Suara Terbanyak
Kompas dunia | 19 Juni 2021, 17:34 WIBDUBAI, KOMPAS.TV - Iran punya presiden baru. Ketua kehakiman Iran Ebrahim Raisi meraih suara terbanyak pemilihan presiden negara itu dengan kemenangan telak hari Sabtu, (19/06/2021).
Anak didik pemimpin tertinggi Iran itu pun naik ke posisi sipil tertinggi Teheran, seperti dilansir Associated Press, Sabtu, (19/06/2021)
Pemilihan itu tampaknya mengalami jumlah pemilih terendah dalam sejarah Republik Islam itu.
Hasil awal menunjukkan Ebrahim Raisi meraih 17,8 juta suara, melesat jauh meninggalkan pesaingnya yang merupakan satu-satunya kandidat moderat dalam pemilu tersebut.
Namun, Raisi mendominasi pemilihan hanya setelah panel di bawah pengawasan pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei mendiskualifikasi pesaing terkuatnya.
Pencalonan Raisi dan perasaan yang meluas bahwa pemilihan itu lebih berfungsi sebagai penobatan bagi Raisi, memicu sikap apatis di antara para pemilih.
Beberapa, termasuk mantan Presiden garis keras Mahmoud Ahmadinejad, menyerukan boikot.
Jamal Orf, kepala kantor pemilihan Kementerian Dalam Negeri Iran, mengatakan, penghitungan suara sementara menunjukkan, mantan komandan Garda Revolusi Mohsen Rezaei meraih 3,3 juta suara dan utusan kubu moderat Abdolnasser Hemmati meraih 2,4 juta suara.
Kandidat keempat, Amirhossein Ghazizadeh Hashemi, meraih sekitar 1 juta suara, kata Orf.
Baca Juga: Hari Ini Iran Gelar Pemilihan Presiden, Apa Saja yang Dipertaruhkan?
Hemmati memberikan ucapan selamatnya di Instagram kepada Raisi Sabtu dini hari.
“Saya berharap pemerintahan Anda memberikan kebanggaan bagi Republik Islam Iran, meningkatkan ekonomi dan kehidupan dengan kenyamanan dan kesejahteraan bagi bangsa besar Iran,” tulisnya.
Di Twitter, Rezaei memuji Khamenei dan rakyat Iran karena mengambil bagian dalam pemungutan suara.
“Insya Allah, pemilihan yang menentukan dari saudara saya yang terhormat, Ayatollah Dr. Seyyed Ebrahim Raisi, menjanjikan pembentukan pemerintahan yang kuat dan populer untuk menyelesaikan masalah negara," tulis Rezaei.
Pengakuan yang cenderung cepat, meski tidak biasa dalam pemilihan Iran sebelumnya, mengisyaratkan apa yang telah ditengarai kantor berita semi-resmi di Iran selama berjam-jam. Pemungutan suara yang dikendalikan dengan hati-hati ini menjadi kemenangan besar bagi Raisi di tengah seruan boikot.
Pemungutan suara berakhir pada pukul 02.00 dini hari pada Sabtu, setelah pemerintah memperpanjang pemungutan suara untuk mengakomodasi apa yang disebut "keramaian" di beberapa tempat pemungutan suara di seluruh negeri.
Kertas suara dihitung dengan tangan sepanjang malam, dan pihak berwenang memperkirakan hasil awal dan angka partisipasi paling cepat hari Sabtu pagi.
Baca Juga: Jelang Pemilihan Presiden, Rakyat Iran Apatis, Berharap Masa Depan Negara Lebih Baik
“Suara saya tidak akan mengubah apa pun dalam pemilihan ini, jumlah orang yang memilih Raisi sangat besar dan Hemmati tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk ini,” kata Hediyeh, seorang wanita berusia 25 tahun yang hanya memberikan nama depannya sambil bergegas menuju taksi di Haft-e Tir Square setelah pergi dari tempat pemungutan suara.
"Saya tidak punya kandidat di sini," sambungnya.
Televisi pemerintah Iran tidak mempersoalkan jumlah pemilih, sambil menyinggung kerajaan-kerajaan Arab Teluk yang diperintah turun-temurun dan partisipasi yang lebih rendah dalam demokrasi Barat.
Sejak revolusi 1979 yang menjungkalkan Shah Iran, sistem teokrasi selalu mengklaim jumlah pemilih sebagai tanda legitimasi, dimulai dengan referendum pertama yang meraih 98,2 persen dukungan. Referendum saat itu hanya menanyakan apakah rakyat menginginkan Republik Islam atau tidak.
Diskualifikasi memengaruhi kubu reformis dan pendukung Rouhani, yang pemerintahannya mencapai kesepakatan nuklir dengan kekuatan dunia tahun 2015 namun runtuh tiga tahun kemudian karena penarikan diri sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Jika terpilih secara resmi, Raisi akan menjadi Presiden Iran pertama yang menjabat dalam kondisi mendapat sanksi Amerika Serikat karena dianggap terlibat eksekusi massal tahanan politik pada 1988, serta saat menjadi hakim tinggi Iran Raisi mendapat kritik internasional karena dianggap menjadi salah satu algojo top dunia.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV