> >

Mantan Pilot Israel: Pemerintah dan Komandan Saya adalah Penjahat Perang, Teroris

Kompas dunia | 19 Mei 2021, 13:39 WIB
Seorang laki-laki Palestina membawa seorang anak yang sudah meninggal keluar dari puing-puing rumah yang hancur karena serangan udara Israel di Kota Gaza, Minggu, 16 Mei 2021. (Sumber: AP Photo/Khalil Hamra)

YERUSALEM, KOMPAS.TV - Seorang mantan pilot Angkatan Udara Israel menyebut pemerintah Israel dan komandan militer mereka sebagai “penjahat perang” dan teroris yang mengancam rakyat Palestina.

Pernyataan ini terungkap dari wawancara eksklusif Anadolu Agency, sebuah media Turki. Mantan pilot itu diberhentikan dari tugas militernya pada 2003 dan mengaku ikut mendukung hak-hak Palestina.

"Saya menyadari selama Intifada kedua (pemberontakan rakyat Palestina tahun 2000-2005) apa yang dilakukan Angkatan Udara Israel dan militer Israel adalah kejahatan perang, meneror populasi jutaan orang Palestina,” tutur mantan tentara bernama Yonatan Shapira, dilansir dari aa.com.tr.

Baca Juga: Mengungkap Deretan Fakta dan Penyebab Israel-Palestina Sulit Berdamai

Setelah menyadari hal itu, Shapira bertekad menyadarkan kawan-kawannya sesama pilot tentara Israel.

Shapira berhasil membujuk sejumlah pilot lainnya hingga mereka menolak menyerang warga Palestina. Angkatan Udara Israel pun memberhentikan lebih dari 27 pilot militer sejak tahun 2003.

Usai diberhentikan, Shapira tak pantang menyerah. Ia bahkan ikut dalam Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) atas perusahaan Israel.

Ia juga aktif melayangkan kritik keras pada pemerintahan Israel dengan menggunakan istilah “negara apartheid”. Apartheid adalah sistem konsitusi pemisahan (segregasi) berdasarkan perbedaan ras.

Melansir media lokal Israel, Haaretz, salah satu bentuk apartheid ini adalah jalan-jalan di Tepi Barat. Dari luar, wilayah ini terlihat dikontrol oleh Pemerintahan Palestina.

Namun, Israel mengontrol Tepi Barat dan membangun jalan-jalan di mana warga Palestina tidak boleh lewat di jalur yang sama dengan warga Israel.

Salah satu jalan apartheid ini bernama Rute 4370. Jalan ini memiliki dinding pemisah setinggi 8 meter di tengah-tengahnya.

Baca Juga: Pengamat Hubungan Internasional Ungkap Deretan Fakta dan Latar Belakang Konflik Israel-Palestina

Warga Palestina hanya boleh lewat di sisi barat jalan, yang tidak bisa mencapai Yerusalem. 

Sementara, warga Israel bisa melewati sisi timur jalan yang memudahkan akses ke berbagai wilayah.

“Sebagai seorang anak di Israel, Anda dibesarkan dalam pendidikan militeristik Zionis yang sangat kuat. Anda hampir tidak tahu apa-apa tentang Palestina, Anda tidak tahu tentang Nakba 1948, Anda tidak tahu tentang penindasan yang sedang berlangsung," beber Shapira.

Karena ketidaktahuan itu, warga Israel yang mengikut wajib militer enteng saja menyerang Palestina.

“Mereka dikirim untuk melempar rudal dan bom di pusat kota Palestina. Pada titik tertentu, saya menyadari bahwa ini adalah tindakan terorisme,” ujar Shapira soal para pilot militer yang membunuh warga sipil Palestina.

Ia sendiri mengaku sulit bisa memahami kondisi itu karena psikologisnya sudah terbentuk lingkungan. 

Baca Juga: Nakba Day 15 Mei, Hari Bencana bagi Palestina Usai Zionis Deklarasi Israel

“Begitu Anda menyadari bahwa Anda adalah bagian dari organisasi teroris, Anda memahami bahwa Anda harus mengatakan tidak, Anda harus mengambil konsekuensi," tegas Shapira.

Shapira juga mengatakan, dirinya pun kesulitan mencari pekerjaan lain karena dukungannya pada rakyat Palestina. Ia pun terpaksa pindah ke Norwegia solidaritas pada Palestina.

“Saya dipecat dari semua perusahaan tempat saya bekerja di Israel, karena saya mendukung perjuangan Palestina,” katanya.

Yonatan Shapira bukan satu-satunya warga Israel yang menentang pendudukan dan penindasan Israel atas Palestina.

"... Pendudukan ini adalah tindak kriminal yang sedang berlangsung dan kejahatan perang, dan kami tidak ingin terus mengambil bagian dalam kejahatan perang ini," ucap Shapira

Israel menduduki Yerusalem Timur, tempat Al-Aqsa berada, selama perang Arab-Israel 1967. Israel mencaplok seluruh kota Yerusalem pada tahun 1980 dalam sebuah tindakan yang tidak pernah diakui oleh komunitas internasional.

Baca Juga: Palestina Dapat Dukungan dari 163 Negara, Sedangkan 15 Lainnya Tak Mau Mengakui Kedaulatannya

Ketegangan baru-baru ini pun bermula dari penggusuran di Yerusalem Timur, tepatnya di Masjid Al-Aqsa dan Sheikh Jarrah.

“...Pemerintahan saya dan komandan saya adalah penjahat perang," kata Shapira menggarisbawahi.

Melansir AlJazeera, 218 warga Palestina, termasuk 63 anak telah terbunuh di Jalur Gaza akibat serangan Israel sejak 10 Mei 2021. Kemudian, 1500 warga Palestina luka-luka.

Sementara, 12 warga Israel tewas, termasuk 2 orang anak. Setidaknya 300 warga Israel luka-luka.

Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU