Pembunuh 51 Jemaah Masjid Selandia Baru Minta Statusnya sebagai Teroris Ditinjau
Kompas dunia | 15 April 2021, 16:29 WIBAUCKLAND, KOMPAS.TV - Pembunuh 51 jemaah Masjid di Christchurch, Selandia Baru, meminta statusnya sebagai teroris ditinjau.
Ia juga mengeluhkan kondisi penjara tempatnya dikurung setelah melakukan aksi yang banyak membuat masyarakat muslim marah.
Brenton Tarrant yang merupakan pengikut supremasist kulit putih asal Australia meminta statusnya sebagai entitas terorisme di bawah Undang-Undang Anti-Terorisme Selandia Baru dikaji ulang.
Baca Juga: Mulai 19 April 2021, Selandia Baru-Australia Terapkan Travel Bubble
Ia juga ingin agar keputusan dari Departemen Tahanan mengenai kondisi penjara yang ditempatinya.
Peninjauan kembali akan disidangkan di Pengadilan Tinggi Auckland, Kamis (15/4/2021).
Seperti dikutip dari 9News, pada pengadilan tersebut Tarrant akan mewakili dirinya sendiri.
Baca Juga: Tak Boleh Baca Alquran, Aktivis Rusia Tuntut Petugas Penjara
Saat ini Tarrant menjadi satu-satunya napi berstatus teroris di Selandia Baru, atas aksinya di Masjid An-Nur dan Masjid Linwood pada 15 Maret 2019.
Penembakan brutal yang dilakukannya membuat 51 orang tewas, sehingga ia diputuskan bersalah dan dipenjara seumur hidup tanpa pengurangan.
Dilansir dari Stuff, Tarrant tapaknya ingin memperjuangkan Batasan yang dimilikinya selama dikurung seumur hidup di penjara atas dasar hak asasi manusia.
Baca Juga: Amerika Serikat Lanjutkan Proses Penjualan Senjata ke Uni Emirat Arab Senilai 23,37 Miliar Dollar AS
Di bawah UU Penahanan, setiap orang ditahanan berhak untuk berolahraga, mendapat tempat tidur, diet yang layak.
Mereka juga diperbolehkan mendapat satu pengunjung pribadi dalam seminggu, penasihan hukum, perawatan medis, perawatan kesehatan, surat dan panggilan telepon.
Tapi ada juga pengecualian dari hak yang diberikan kepada para tahanan tersebut.
Baca Juga: Ritual Kumbh Mela di Sungai Gangga Hasilkan Lonjakan Kasus Positif Covid 19
Hak itu dapat tak diberikan karena berbagai hal, termasuk dipisahkan atau dalam perlindungan, kesehatan dan keselamatan, serta karena tidak dapat dilakukan.
Sementara itu, status Tarrant sebagai teroris membuatnya ditahan di Penjara Aucklan di bawah Direktorat Tahanan Berisiko Ekstrim.
Direktorat itu dibuat pada Juli 2019, sebagai respon atas pembantaian yang dilakukan Tarrant, dan untuk mengawasi tahanan paling berbahaya di negara itu.
Baca Juga: Jepang Masih Buka Opsi Pembatalan Olimpiade
Hal itu diyakini membuat Tarrant tak mendapatkan keleluasaan seperti yang diatur oleh UU Penahanan.
Keluarga korban maupun penyintas dari aksi Tarrant dilaporkan telah dikabari tentang sidang peninjauan tersebut.
Meski begitu, sidang peninjauan tersebut dipastikan tak akan mempengaruhi hasil dari kasus pidana, atau hukuman kepada Tarrant.
Penulis : Haryo Jati Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV