Taktik Demonstran Myanmar Gunakan Sarung Perempuan Lawan Aparat
Kompas dunia | 16 Maret 2021, 19:50 WIBYANGON, KOMPAS.TV - Protes dan pembangkangan sipil menentang kudeta militer oleh masyarakat sipil Myanmar terus berjalan, meski menghadapi kekerasan aparat.
Tanpa menggunakan senjata, warga Myanmar menggunakan berbagai cara untuk bertahan.
Sebelum kudeta militer 1 Februari, jalanan di Kota Okkalapa Utara, Yangon, Myanmar selalu ramai.
Sepanjang siang dan malam, berbagai kendaraan mulai truk kontainer, bus, motor dan pejalan kaki lalu lalang.
Ketika pembangkangan sipil mulai menyebar ke seluruh Myanmar, tak ada lagi kendaraan yang melintas di jalanan kota itu.
Warga menempatkan karung pasir, tempat sampah, pecahan batu bata, tumpukan ban dan pipa panjang dengan diameter lebih dari satu meter untuk menghalangi jalan.
Baca Juga: Para Perempuan Pemberani di Demo Myanmar: Tak Peduli Nyawa, Kami Peduli pada Generasi Mendatang
Berbagai barang itu berguna untuk memperlambat gerak maju polisi dan tentara yang berusaha menghentikan demonstrasi warga.
Selain itu, warga Myanmar juga punya taktik terbaru yakni menggantung sarung perempuan bernama htamein di jalan-jalan kota.
Mereka membuat jemuran sendiri dengan tali yang terikat ke pohon atau tiang listrik di pinggir jalan.
Sarung-sarung beraneka warna itu tergantung di atas jalan-jalan kota.
Bahkan, terkadang warga juga menggantung pembalut bersama sarung-sarung tersebutt
Jemuran ini bukan sekedar hiasan. Ini adalah cara warga Myanmar menghambat pergerakan aparat.
“Tentara dan polisi bisa melewati penghalang. Tapi ketika htamein digantung di atas kepala mereka, mereka tidak berani masuk,” kata Ko Zaw Naing Myo, warga yang ikut dalam demonstrasi menentang militer, dikutip dari frontiermyanmar.net.
Para tentara ini enggan berjalan di bawah htamein dan pembalut karena kepercayaan misoginis yang banyak diyakini orang Myanmar.
Tatmadaw, sebutan tentara Myanmar yang mayoritas laki-laki percaya kekuatan dan kegagahan mereka akan berkurang jika mereka menyentuh atau lewat di bawah sarung perempuan itu.
Baca Juga: Leaderless Protests: Gerakan Protes Tanpa Pemimpin yang Terjadi di Myanmar
Bukannya melewati tali jemuran, tentara Myanmar biasanya mau merepotkan diri untuk melepas htamein terlebih dahulu.
Ini memberi waktu bagi para pengunjuk rasa untuk menemukan tempat perlindungan di rumah-rumah terdekat.
“Setidaknya kita bisa menunda mereka. Menurut pengalaman saya, mereka tidak berani mendekati kami tanpa menurunkan htamein,” ujar Zaw Naing Myo.
Para pengunjuk rasa di berbagai wilayah Myanmar juga menggunakan taktik ini.
Dengan sikap menyindir khas orang Myanmar, mereka juga kerap mengolok para tentara yang menurunkan sarung-sarung itu sebagai “pencuri htamein”.
Taktik ini mulai menyebar luas sejak 8 Maret 2021.
Para aktivis menamai hal ini sebagai “revolusi htamein” sekaligus merayakan Hari Perempuan Internasional.
“Kami tidak memiliki senjata untuk menyakiti mereka [polisi dan tentara], tetapi apa pun yang mengkhawatirkan atau menunda mereka adalah senjata kami,” kata Daw Moe Sandar Myint, Presiden Federasi Pekerja Umum Myanmar (FGWM).
Taktik ini terbukti menjengkelkan aparat. Polisi biasanya membakar sarung-sarung yang telah mereka turunkan. Aparat juga menangkap 8 demonstran karena menggantung htamein.
Sementara, media milik pemerintah mengumumkan ancaman hukuman bagi pengunjuk rasa yang menggantung “pakaian perempuan”. Pemerintah di bawah militer Myanmar juga menyebut, tindakan ini “menghina budaya Myanmar”.
Baca Juga: 138 Demonstran Tewas, Eks Parlemen Prodemokrasi Myanmar Khawatir Pecahnya Perang Saudara
“Sejauh ini, kami dapat melihat mereka (tentara Myanmar) tidak mau berjalan di bawah htamein. Sungguh lucu melihat mereka menurunkannya. Saya pikir mereka percaya bahwa htamein dapat menurunkan derajat mereka, ”kata Ko Kyaw Swa Moe Thu, seorang warga yang ikut menentang kudeta militer.
Beberapa laki-laki Myanmar juga menunjukkan dukungan terhadap gerakan tersebut dengan mengunggah foto mereka di media sosial dengan htamein yang melilit kepala mereka.
“Kemuliaan tidak terletak di balik pakaian, tapi pada manusia,” kata Kyaw Swa Moe Thu.
Penulis : Ahmad Zuhad Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV