> >

Terjadi Kudeta Militer, Ini Sejarah Negara Myanmar yang Dulunya Bernama Burma

Kompas dunia | 7 Maret 2021, 11:03 WIB
Puluhan ribu warga sipil Myanmar melakukan demo menolak kudeta militer pada Senin (22/2/2021). (Sumber: Twitter/Myanmar_Now_Eng)

Seperti yang juga diberitakan Kompas.com, Sabtu (6/3/2021), saat mengubah nama negara, militer mengatakan bahwa mereka berupaya meninggalkan nama yang diwarisi dari masa kolonial.

Selain itu, pihak militer juga berdalih perubahan nama itu untuk menyatukan 135 kelompok etnik yang diakui secara resmi, bukan hanya orang Burman.

Para pengkritik mengecam langkah tersebut dengan alasan bahwa Myanmar dan Burma memiliki arti yang sama dalam bahasa Burma.

Namun, Myanmar adalah cara yang lebih formal untuk menyebut Burma, sebuah kata yang digunakan dalam bahasa sehari-hari.

Baca Juga: Detik-Detik Demonstran Kudeta Myanmar Dihujani Gas Air Mata

Perubahan nama lain seperti Rangoon menjadi Yangon, hanya mencerminkan kesesuaian yang lebih besar dengan bahasa Burma, tidak lebih.

Selain itu, perubahan nama tersebut hanya terjadi dalam versi Bahasa Inggris. Para simpatisan pro-demokrasi mengatakan bahwa pergantian nama itu tidak sah karena tidak diputuskan oleh rakyat.

Akibatnya, banyak pemerintah di seluruh dunia menentang junta militer dan terus menyebut negara itu Burma dan ibu kotanya, Rangoon.

Nama Myanmar pun diterima

Pada 2010-an, rezim militer memutuskan transisi negara menuju demokrasi. Meski angkatan bersenjata tetap kuat, lawan politiknya dibebaskan dan pemilihan umum pun diizinkan.

Pada 2015, partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi memenangi mayoritas kursi di parlemen Myanmar.

Ketika debat Myanmar versus Burma menjadi kurang terpolarisasi, sebagian besar pemerintah asing dan organisasi internasional memutuskan untuk mengakui Myanmar sebagai nama resmi.

Baca Juga: 1.000 Lebih Warga Hadiri Pemakaman 3 Orang yang Ditembak Mati Saat Demo Kudeta Myanmar

Namun, banyak juga negara, seperti Australia, memutuskan untuk menggunakan Burma maupun Myanmar sebagai sarana untuk memberi sinyal dukungan bagi transisi demokrasi di dalam negeri dan pada saat yang sama mengikuti protokol diplomatik.

Suu Kyi, yang menjadi pemimpin de facto negara itu pada 2016, juga menyatakan dukungannya untuk menggunakan Myanmar atau Burma. Namun, tidak semua negara mengikutinya.

Salah satunya, Amerika Serikat yang tidak mau menyebut Myanmar dan tetap menyebut negara itu sebagai Burma.

Baca Juga: Sukarelawan Medis Ikut Dianiaya Aparat Myanmar

Hal itu ditegaskan Presiden AS Joe Biden saat memberi kecaman terhadap kudeta militer dengan menyebut negara itu sebagai Burma.

Penulis : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU