Para Perempuan Pemberani di Demo Myanmar: Tak Peduli Nyawa, Kami Peduli pada Generasi Mendatang
Kompas dunia | 5 Maret 2021, 20:01 WIBAwal pekan ini, jaringan televisi militer mengumumkan bahwa pasukan keamanan tidak berwenang menggunakan peluru tajam. Untuk membela diri mereka hanya dapat menembak di bagian tubuh bagian bawah.
“Militer Myanmar harus berhenti membunuh dan memenjarakan pengunjuk rasa. Benar-benar menjijikkan bahwa pasukan keamanan menembakkan peluru tajam pada para peserta aksi damai di seluruh Myanmar," kata Michelle Bachelet, pejabat tinggi hak asasi manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis (4/3/2021).
Para perempuan juga bergabung dalam relawan medis. Mereka berkeliling merawat para pengunjuk rasa yang terluka dan sekarat.
Mereka memberontak pula secara simbolis. Foto Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pimpinan dewan militer Myanmar digantung bersama sarung-sarung perempuan, htamein sebagai hinaan.
Dalam sebuah pidato propaganda sebelumnya. Aung Hlaing sempat menyebut para peserta demo mengenakan pakaian yang tak pantas dan tak sesuai budaya Myanmar. Salah satu pakaian itu adalah htamein.
“Perempuan-perempuan muda saat ini memimpin protes karena kami memiliki sifat keibuan dan kami tidak dapat membiarkan generasi berikutnya dihancurkan. Kami tidak peduli dengan nyawa kami. Kami peduli dengan generasi masa depan kami," kata Dr. Yin Yin Hnoung, seorang dokter berusia 28 tahun yang ikut dalam demo di kota Mandalay.
Militer Myanmar bernama Tatmadaw terkenal karena konservatif. Mereka terlibat dalam pemerkosaan sistematis pada perempuan-perempuan Rohinghya, etnis minoritas di negara bagian Rakhine.
Militer juga menyerang desa-desa etnis minoritas lain, Karen dan Kachin. Jet-jet militer menghujani warga minoritas dengan artileri, termasuk perempuan dan anak-anak.
“Saat itulah saya berkomitmen untuk berupaya menghapus junta militer. Minoritas tahu bagaimana rasanya dan ke mana diskriminasi mengarah. Sebagai seorang perempuan, kami masih dianggap sebagai kelompok berjenis kelamin lebih rendah," kata Esther Ze, warga etnis Kachin yang ikut dalam demo.
Para pengunjuk rasa di Myanmar berasal dari berbagai kalangan yang muak dengan junta militer. Junta militer telah berkuasa sejak kudeta 1962.
Pelajar Muslim, biarawati Katolik, biksu Buddha, waria juga ikut bergabung dalam demo menentang militer Myanmar.
Baca Juga: Data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Menurun di Masa Pandemi Covid-19, Benarkah Demikian?
“Gen Z adalah generasi yang tak kenal takut. Adik saya ikut protes setiap hari. Dia benci kediktatoran,” tegas Honey Aung, seorang pengunjuk rasa perempuan.
Adik perempuannya, Kyawt Nandar Aung, tewas terkena peluru di kepala pada Rabu (3/3/2021) di kota Monywa.
Kyal Sin telah dimakamkan. Namun, Cho Nwe Oo mengaku akan tetap mengingat keberanian sahabatnya itu.
“Dia akan berkata, 'jika kamu melihat sebuah bintang, ingatlah, itu aku.' Aku akan selalu mengingatnya dengan bangga,” kata Cho Nwe Oo.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV