Lagi, Dua Pengunjuk Rasa di Myanmar Ditembak Mati Polisi
Kompas dunia | 21 Februari 2021, 00:35 WIBMANDALAY, KOMPAS.TV – Dua pengunjuk rasa anti kudeta ditembak mati oleh polisi anti huru-hara di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, pada Sabtu (20/2).
Dikutip dari majalah berita dan bisnis Frontier Myanmar yang berbasis di Yangon – kota terbesar di Myanmar –, salah seorang korban tertembak di bagian kepala dan tewas seketika. Sementara seorang korban lain tertembak di bagian dada dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Associated Press melaporkan, sejumlah pengunjuk rasa lainnya juga menderita luka parah saat polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa demonstran. Penembakan terjadi di dekat dermaga Yadanabon di Mandalay, di mana
Portal berita Irrawaddy juga mengonfirmasi kematian 2 pengunjuk rasa melalui media sosial.
Baca Juga: Ritual Santet dan Kutukan Mulai Digunakan Pengunjuk Rasa Anti Militer Myanmar di Kota Kuno Bagan
Pasukan keamanan telah meningkatkan tindakan mereka dengan menggunakan meriam air, gas air mata, ketapel dan peluru karet terhadap para pengunjuk rasa anti kudeta dan pekerja dermaga yang mogok kerja di Mandalay pada Sabtu (20/2).
Sedikitnya 5 orang terluka oleh terjangan peluru karet dan harus dilarikan dengan ambulans.
Sekitar 500 personil polisi dan tentara dikerahkan di area dekat dermaga Yadanabon setelah sejumlah pekerja dermaga bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil nasional. Para pekerja dermaga ini menolak bekerja sampai junta militer yang mengambil alih kekuasaan dengan melakukan kudeta pada 1 Februari lalu, mengembalikan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.
Di tengah kerusuhan yang terjadi, massa pengunjuk rasa lari kocar-kacir mencari perlindungan saat pasukan keamanan mengejar mereka.
Sejumlah laporan menyebutkan adanya suara yang menyerupai suara tembakan. Sekelompok jurnalis juga terpaksa lari menyelamatkan diri setelah pasukan keamanan melepaskan gas air mata dan proyektil ketapel.
Awal pekan ini di Mandalay, pasukan keamanan telah menindak tegas para pekerja kereta api negara yang turut bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil.
Baca Juga: Aparat Keamanan Myanmar Makin Keras, Bubarkan Unjuk Rasa Dengan Hujan Tembakan Ketapel
Kurang dari 1 jam selepas jam malam -- dimulai pada jam 8 malam -- pada Rabu lalu, suara tembakan terdengar bersahut-sahutan saat 2 lusin personil polisi anti huru-hara menyisir perumahan para pekerja kereta api. Sejumlah video yang diunggah di media sosial memperlihatkan saat moncong senjata polisi menyala disertai suara tembakan, dan sejumlah polisi menembakkan ketapel dan melempar batu ke gedung-gedung. Nyanyian aba-aba polisi yang berbaris “kiri, kanan, kiri, kanan!” terdengar, ditingkahi teriakan komando “Tembak!Tembak!”. Suasana begitu mencekam malam itu.
Para pengunjuk rasa melakukan aksi mereka di dua kota terbesar di Myanmar untuk memberikan penghormatan pada seorang perempuan muda yang meninggal sehari sebelumnya setelah ditembak oleh polisi dalam demonstrasi menentang kudeta.
Baca Juga: Demonstran Wanita yang Ditembak oleh Polisi Myanmar di Kepala Akhirnya Meninggal
Tugu peringatan dadakan yang didirikan di bawah sebuah ruas jalan layang di Yangon menarik sekitar 1.000 orang massa pengunjuk rasa. Sebuah karangan bunga berwarna kuning cerah digantung di bawah foto Mya Thwet Thwet Khine, yang tertembak di ibukota Naypyidaw pada 9 Februari lalu, dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke-20.
Kematiannya pada Jumat (19/2), yang diumumkan oleh keluarganya, merupakan kematian pertama yang dikonfirmasi di antara ribuan pengunjuk rasa yang berhadapan dengan pasukan keamanan sejak komandan militer tertinggi Min Aung Hlaing mengambil alih kekuasaan dalam kudeta.
Massa di tugu peringatan tersebut meneriakkan dan mengangkat sejumlah tulisan berbunyi "Akhiri kediktatoran di Myanmar” dan “Kau akan dikenang, Mya Thwet Thwet Khine”. Massa juga meletakkan bunga mawar dan menabur kelopak mawar di atas foto perempuan muda itu.
Rekaman video pada hari saat ia tertembak memperlihatkan Mya tengah berlindung dari meriam air dan tiba-tiba rebah ke tanah setelah sebuah peluru menembus helm sepeda motor yang ia kenakan. Selama lebih dari seminggu setelahnya, Mya hidup dengan bergantung pada mesin life support, dan dokter memvonis, tak ada harapan kesembuhan baginya.
Baca Juga: Karena Kudeta, Negara-Negara Ini Kompak Beri Sanksi Untuk Myanmar
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Ned Price menyampaikan bela sungkawa pada Jumat dan menyerukan kembali pada militer Myanmar untuk menahan diri menggunakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa.
Di hari yang sama, Sabtu (20/2), sekitar 1.000 orang bergabung dalam sebuah aksi protes yang digelar oleh para mahasiswa kedokteran. Mereka juga membawa bunga dan mengusung foto Mya Thwet Thwet Khine. Pengunjuk rasa lainnya mengusung tulisan “CDM” yang merujuk pada gerakan pembangkanan sipil nasional yang telah membuat para dokter, teknisi dan praktisi profesi lain untuk memprotes kudeta dengan mogok kerja.
Di seluruh negeri, aksi protes tidak menunjukkan tanda-tanda mereka, kendati pemerintahan militer menindak tegas para pengunjuk rasa dan mematikan sambungan internet selama 6 hari berturut-turut.
Para pengunjuk rasa juga melakukan aksi di sejumlah lokasi lain di Yangon, bernyanyi dan mengusung foto peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, yang pemerintahan demokratisnya digulingkan oleh kudeta militer.
Baca Juga: PBB Temukan Foto Bukti Polisi Myanmar Tembaki Demonstran Penolak Kudeta Myanmar
Junta militer Myanmar mengambil alih kekuasaan setelah menahan Suu Kyi dan mencegah Parlemen bersidang dengan mengatakan bahwa pemilu November dinodai oleh penyimpangan pemungutan suara. Hasil pemilu, yang dimenangkan telak oleh partai Suu Kyi, ditegaskan oleh komisi pemilu yang sejak kudeta diganti oleh militer. Junta militer menyatakan akan menggelar pemilu yang baru dalam waktu setahun ke depan.
Pemerintah AS, Inggris dan Kanada telah memberlakukan sanksi terhadap para pemimpin militer Myanmar yang baru, dan menyerukan agar pemerintahan Suu Kyi dikembalikan.
Kudeta militer tersebut merupakan kemunduran besar bagi transisi Myanmar menuju demokrasi setelah 50 tahun pemerintahan militer. Suu Kyi berkuasa setelah partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, menang pemilu pada 2015. Namun, para jenderal militer mempertahankan kekuasaan substansial di bawah konstitusi, yang diadopsi di bawah rezim militer.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV