> >

Musim Kudeta, Presiden Haiti Tangkap 20 Orang yang Dituduh Akan Gulingkan Kekuasaannya

Kompas dunia | 8 Februari 2021, 05:15 WIB
Unjuk rasa untuk menentang Presiden Haiti Jovenel Moïse terjadi di Port Au Price, Haiti, Minggu, 7 Februari 2021. (Sumber: Associated Press)

PORT AU PRINCE, KOMPAS.TV – Setelah terjadi kudeta militer di Myanmar pada minggu lalu, kini Presiden Haiti Jovenel Moïse mengumumkan bahwa polisi telah menangkap lebih dari 20 orang yang dituduhnya mencoba membunuhnya dan menggulingkan pemerintahannya. Salah satu yang ditangkap adalah seorang hakim Mahkamah Agung yang mendapat dukungan dari para pemimpin oposisi yang menuntut Moïse untuk mundur.

Moïse berbicara di bandara Haiti di Port-au-Prince, diapit oleh perdana menteri negara dan kepala polisi, Minggu (7/2/2021). Saat itu ia tengah bersiap untuk berangkat ke kota Jacmel, untuk upacara pembukaan karnaval tahunan, yang diadakan di tengah pandemi.

Baca Juga: Militer Myanmar Blokir Facebook Pasca Kudeta

"Ada upaya (perebutan kekuasaan) dalam hidup saya," katanya seperti dikutip dari the Associated Press.

Moïse mengatakan, dugaan persekongkolan itu dimulai pada 20 November. Namun dia tidak memberikan rincian lebih lanjut atau bukti apa pun tentang dugaan akan terjadinya kudeta ini. Dia hanya mengatakan, di antara orang-orang yang ditangkap adalah seorang hakim dan seorang inspektur jenderal di kepolisian. Moïse kemudian mengatakan, pejabat tinggi lainnya akan memberikan informasi lebih lanjut tentang penangkapan ini.

André Michel, salah satu pemimpin oposisi teratas Haiti, mengadakan konferensi pers beberapa jam setelah penangkapan dan menyerukan pembangkangan sipil. Ia juga menuntut agar Moïse ditangkap. Michel, yang juga merupakan seorang pengacara, mengatakan adalah ilegal untuk menangkap Hakim Mahkamah Agung Yvickel Dabrézil karena dia memiliki kekebalan.

Dabrézil adalah satu dari tiga hakim yang disukai oposisi dan digadang-gadang sebagai calon presiden transisi.

Baca Juga: Drama Kudeta Partai Demokrat, AHY vs Moeldoko Makin Memanas

Reynold Georges, seorang pengacara yang pernah bekerja sebagai konsultan untuk pemerintahan Moïse, namun kini bergabung dengan kubu oposisi, mengecam penangkapan tersebut dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Zenith FM.

“Kami meminta pembebasan dengan segera,” katanya merujuk pada pembebasan Dabrézil. Ia menambahkan, sistem pengadilan harus ditutup sampai Dabrézil bebas.

Georges juga meminta orang-orang untuk bangkit melawan Moïse.

Penangkapan itu terjadi ketika pemimpin oposisi mengklaim Moïse harus mengundurkan diri, dengan mengatakan bahwa masa jabatannya telah berakhir pada hari Minggu. Moïse berulang kali menyatakan bahwa masa jabatan lima tahunnya berakhir pada Februari 2022.

Masa jabatan mantan Presiden Michel Martelly berakhir pada 2016, tetapi pemilu yang kacau memaksa pengangkatan presiden sementara selama satu tahun hingga Moïse dilantik pada 2017.

Pihak oposisi telah mengorganisir protes baru-baru ini dan menuntut agar Moïse mundur. Jalanan yang biasanya padat di ibu kota Haiti, pada hari Minggu terlihat lengang. Namun terlihat sekitar 100 pengunjuk rasa berkumpul di Port-au-Prince dan terjadi bentrok antara pengunjuk rasa dengan polisi.

Baca Juga: Demo Kudeta, Mahasiswa Serukan Militer Myanmar Kembali ke Barak

Sejarawan mencatat bahwa tepat 35 tahun yang lalu, mantan diktator Jean-Claude Duvalier dan istrinya melarikan diri dari Haiti dengan bantuan pemerintah AS di tengah pemberontakan rakyat. Duvalier kemudian meninggal pada tahun 2014.

Sementara itu, Moïse tampaknya mendapat dukungan dari pemerintahan Presiden AS Joe Biden. Ned Price, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, mengatakan pada hari Jumat bahwa AS telah mendesak Haiti untuk menyelenggarakan pemilihan yang bebas dan adil, sehingga Parlemen dapat melanjutkan pekerjaan mereka. Ia menambahkan, presiden terpilih yang baru harus menggantikan Moïse ketika masa jabatannya berakhir pada Februari 2022.

Moïse saat ini berkuasa setelah membubarkan mayoritas Parlemen pada Januari 2020, setelah tidak ada pemilihan legislatif yang diadakan. Dia merencanakan referendum konstitusi pada bulan April medatang, yang menurut para kritikus dapat memberinya lebih banyak kekuasaan. Sedangkan pemilihan umum dijadwalkan akan diselenggarakan akhir tahun ini.

Setelah tiba di Jacmel, Moïse menyiarkan pidato yang berlangsung lebih dari satu jam. Dia berbicara tentang proyek infrastruktur yang telah diselesaikan pemerintahannya, tetapi juga meminta pihak oposisi untuk bekerja dengannya.

Baca Juga: Utusan PBB Temui Militer Myanmar, Kutuk Kudeta yang Terjadi

“Belum terlambat,” katanya. Ia menolak tuduhan bahwa dia sedang dalam perjalanan untuk menjadi seorang diktator.

“Saya bukan seorang diktator. Diktator adalah orang yang mengambil alih kekuasaan dan tidak tahu kapan mereka akan pergi. Saya tahu mandat saya berakhir pada 7 Februari 2022,” ujarnya.

Penulis : Tussie-Ayu

Sumber : Kompas TV


TERBARU