Kudeta Myanmar: Unjuk Rasa Makin Besar di Seluruh Myanmar Menyusul Sambungan Internet Dipulihkan
Kompas dunia | 8 Februari 2021, 08:05 WIBYANGON, KOMPAS.TV - Unjuk rasa makin membesar setelah sambungan data internet kembali aktif di Myanmar kemarin. Perusahaan telekomunikasi Telenor Norwegia yang menjadi penyedia utama internet mobile di Myanmar hari Minggu, (07/02/2021) mengatakan, "Kementerian Transportasi dan Komunikasi sudah memerintahkan mereka untuk membuka kembali internet dan mereka langsung melaksanakannya,", demikian dilansir Associated Press, Minggu (02/07/2021)/
Puluhan ribu warga di seluruh Myanmar hari Minggu turun ke jalan-jalan mengecam kudeta yang terjadi 1 Februari serta menuntut pembebasan seluruh orang yang ditahan militer.
Unjuk rasa hari Minggu di seluruh Myanmar adalah yang terbesar sejak Revolusi Saffron tahun 2007 yang membantu terjadinya reformasi demokrasi di negeri itu.
Baca Juga: Militer Myanmar Tangkap Warga Australia yang Juga Penasihat Aung San Suu Kyi
Pemutusan arus informasi keluar masuk, penahanan Aung San Suu Kyi tanpa informasi apapun, desas-desus yang menyebar akibat ketiadaan informasi mengingatkan kembali negeri itu ke hari-hari gelap masa kediktatoran militer selama 5 dekade.
Unjuk rasa hari Minggu didominasi Generasi Z yang tumbuh dalam suasana yang lebih merdeka dan sejahtera, di Myanmar, salah satu negara termiskin dan paling terkungkung di Asia Tenggara.
Associated Press melaporkan, semangat puluhan ribu pengunjuk rasa langsung naik saat internet kembali aktif di telepon genggam mereka setelah satu hari penuh diblokir pemerintah militer.
Unjuk rasa di Yangon terjadi di lokasi yang berbeda-beda oleh berbagai lapisan masyarakat dan semua berjalan menuju Sule Pagoda yang terletak di pusat kota. Pengunjuk rasa berteriak "Panjang Umur Ibu Suu," dan "Jatuhlah kediktatoran militer,".
Seruan itu diikuti pengunjuk rasa di kota-kota lain Myanmar.
Baca Juga: Internet Kini Mati di Myanmar, Setelah Militer Gagal Bungkam Facebook, Twitter, dan Instagram
Pengunjuk rasa di seluruh Myanmar menuntut pembatalan pengambilalihan kekuasaan oleh militer dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi beserta seluruh orang yang ditahan sejak hari Senin, (01/02/2021), yang kebanyakan adalah tokoh utama partai Liga Nasional Untuk Demokrasi.
Militer mengambil alih kekuasaan atas dasar tuduhan bahwa pemerintahan Suu Kyi gagal menindaklanjuti keluhan kecurangan pemilu November kemarin, walau KPU Myanmar mengatakan mereka tidak menemukan fakta yang bisa mendukung tuduhan tersebut.
Membesarnya unjuk rasa menjadi pengingat akan panjangnya perjuangan Myanmar menuju demokrasi, dimana negeri itu sudah 5 dekade berada di bawah kediktatoran militer.
Baca Juga: Utusan PBB Temui Militer Myanmar, Kutuk Kudeta yang Terjadi
Tahun 2021, cengkeraman militer mengendur tahun 2012 dan tahun 2015 partai Suu Kyi memenangkan pemilu, membuat negeri itu pertama kalinya dipimpin pemerintahan sipil.
Walau begitu, pemerintahan sipil itu harus memerintah dibawah konstitusi yang disusun mliter.
Di tahun - tahun Myanmar berada di bawah kediktatoran militer, Pagoda Sule selalu menjadi titik pusat pertemuan unjuk rasa yang menuntut demokrasi, terutama pada unjuk rasa besar tahun 1998 dan tahun pemberontakan tahun 2007 yang dipimpin kalangan biksu agama Buddha.
Militer menggunakan kekerasan untuk menghentikan unjuk rasa tersebut, yang diperkirakan memakan korban jiwa hingga beberapa ribu di tahun 1988.
Baca Juga: Indonesia dan Malaysia Desak Negara-Negara ASEAN Bicarakan Kudeta Myanmar
Dalam unjuk rasa kali ini, militer tidak terlihat menangani unjuk rasa. Di jalanan, pengunjuk rasa berhadapan dengan aparat kepolisian anti huru-hara dan sejauh ini dilaporkan tidak ada insiden bentrokan.
Pengunjuk rasa makin besar dan makin berani dari hari ke hari, dengan cara damai mendukung seruan pembangkangan sipil di seluruh negara.
Kebanyakan pengunjuk rasa mengusung spanduk yang menuntut pembebasan Suu Kyi dan Presidne Win Myint yang saat ini ditahan dan menjadi tersangka perkara sepele, yang dilihat hanya sebagai alasan dibuat-buat untuk menahan mereka.
"Kami hanya ingin menunjukkan ke generasi sekarang bagaimana generasi sebelum mereka berjuang ditengah krisis, yaitu dengan mematuhi panduan Ibu Suu (Aung San Suu Kyi), berlaku jujur, transparan, dan melakukan semua dengan damai," tutur Htain Linn Aung, seorang pengunjuk rasa berusia 46 tahun, yang setelah itu berteriak,"Kami tidak ingin diktator militer. Diktator militer akan jatuh,"
Baca Juga: Mahasiswa dan Dosen di Myanmar Turun ke Jalan Untuk Protes Kudeta
Berbagai laporan sosial media dan beberapa layanan berita Myanmar menyebut unjuk rasa terjadi di seluruh negeri, dengan unjuk rasa skala besar juga terjadi di Mandalay. Rakyat di sana berpawai naik motor bebek dan terus menerus membunyikan klakson mereka.
Sejak Sabtu, unjuk rasa terus membesar ke angka ribuan yang turun ke jalan, sementara masyarakat lain memukuli perabotan dapur mereka seperti wajan dan panji serta ember sekeras mungkin sebagai tanda protes atas tindakan militer.
Aparat memutuskan akses ke internet sekaligus pada hari Sabtu, namun masyarakat menemukan celah sehingga kabar bisa menembus keluar Myanmar, namun pada saat yang sama memunculkan kekuatiran bahwa militer akan mematikan total seluruh sambungan internet.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Namanya Burma atau Myanmar sih? Nah Ini Penjelasannya
Sosial media seperti Facebook dan Twitter sudah beberapa hari diblokir, namun sebagian tetap bisa diakses.
Netblocks, lembaga berbasis di Inggris yang kerjanya memantau gangguan internet memastikan ada pemulihan sambungan internet pada hari Minggu namun sosial media tetap diblokir. Mereka mengingatkan hal itu mungkin sementara,
Pemutusan arus informasi dan komunikasi adalah pertanda bahaya atas berbagai kemajuan yang dicapai Myanmar. Selama beberapa dekade berada dibawah pemerintahan militer, negara itu terisolasi secara internasional dengan komunikasi keluar sangat dibatasi.
Anggota parlemen hasil pemilu November kemarin dari partai NLD yang dipimpin Suu Kyi mendeklarasikan bahwa merekalah wakil sah dari seluruh rakyat Myanmar dan meminta pengakuan internasional atas pemerintahan sipil mereka.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV