Jelang Dilantik jadi Presiden AS, Ini 4 Jejak Bermasalah Joe Biden
Kompas dunia | 20 Januari 2021, 17:18 WIBReade mengaku Biden pernah memegang bagian tubuhnya yang berada di balik pakaian. Biden juga disebut merayunya agar mau diajak kencan.
Selain Reade, tujuh perempuan lain mengaku menerima perlakuan tidak pantas dari Biden. Para perempuan itu mengaku Biden pernah menyentuh, memeluk dan atau mencium mereka.
Baca Juga: Sebelum Dilantik, Biden Akan Hadiri Misa Gereja Bersama Pemimpin Kongres AS
Biden menyangkal tuduhan itu. Dalam tulisannya di akun blog Medium, ia secara tersirat menyatakan dukungannya pada usaha melawan tindak kekerasan seksual.
“Tiap tahun pada bulan April ini kita membicarakan kesadaran, pencegahan dan pentingnya perempuan merasa mereka dapat bergerak maju, menyatakan sesuatu dan didengarkan. Kepercayaan bahwa perempuan harus didengarkan adalah hal yang mendasari hukum yang kubuat lebih dari 25 tahun lalu,” tulis Biden.
Biden merujuk pada Undang-Undang Kekerasan pada Perempuan.
Memberi Persetujuan yang Menyebabkan Bush Dapat Menyerbu Irak
Pada 2016 Donald Trump bisa memperoleh banyak dukungan dari internal Partai Republik dan masyarakat karena menyalahkan lawan-lawannya yang terlibat dalam invasi Irak.
Ia meraih banyak simpati setelah mendebat mantan Presiden George Bush dalam bursa calon presiden Partai Republik. Trump juga menyoroti peran Hillary Clinton sebagai anggota Senat yang menyetujui invasi Irak.
Namun, tak banyak orang mengetahui bahwa Joe Biden adalah aktor utama lain di balik invasi Irak oleh Amerika. Pada 2002 Biden adalah Ketua Komite Hubungan Internasional Senat Amerika. Ia juga tokoh berpengaruh.
Baca Juga: Jelang Pelantikan Joe Biden, Gladi Bersih Dibubarkan, Kenapa?
Tak cuma itu, Biden juga berwenang memilih seluruh saksi dalam sesi dengar pendapat rapat Senat mengenai Irak. Ia memilih sebagian besar saksi dari kalangan pendukung invasi Irak. Ia tak memilih saksi ahli yang dapat menjelaskan keadaan sebenarnya pemerintahan Irak.
Akibatnya, Irak mendapat sanksi ekonomi dan hancur karena invasi itu. Hal itu semua dilakukan dengan alasan pemerintahan Irak mendukung Al-Qaeda dan memiliki senjata pemusnah massal. Seluruh tuduhan atas Irak adalah tuduhan tak berdasar.
“Aku yakin ini bukan langkah buru-buru untuk berperang. Aku percaya ini adalah gerak jalan menuju kedamaian dan keamanan. Aku percaya kegagalan mendukung resolusi (invasi) ini secara bersemangat bakal meningkatkan prospek terjadinya perang,” kata Biden beberapa hari sebelum voting soal invasi Irak.
Mendorong Kebijakan Pemenjaraan Massal
Biden juga mendapat kritik karena mendorong kebijakan pemenjaraan massal dan ikut membuat aturan soal itu.
Pada 1986 Biden ikut membuat Undang-Undang Anti Penyalahgunaan Obat-Obatan. Meski terlihat baik, praktik undang-undang ini diskriminatif.
Contohnya, soal hukuman bagi pengguna kokain. Pengguna kokain dapat dibedakan dari orang yang mengonsumsi bubuk kokain langsung dengan orang yang menghisap asap kokain (crack).
Baca Juga: Di DK PBB, Ketua Liga Arab Minta Joe Biden Ubah Kebijakan Trump di Timur Tengah
Warga kulit hitam cenderung mendapat hukuman sebagai penghisap crack yang lebih berat dari hukuman untuk pengguna bubuk kokain.
Sementara, warga kulit putih cenderung mendapat hukuman sebagai pengguna bubuk kokain. Padahal, mayoritas penghisap crack adalah warga kulit putih.
Biden juga ikut melahirkan Undang-Undang Kriminal pada 1994. Akibat aturan ini, pemerintah Amerika mendorong turunnya anggaran besar-besaran untuk menangkapi bandar narkoba, membangun banyak penjara, dan mencegah kalangan pemuda terhindar dari narkoba.
Akibat undang-undang itu, hukum Amerika lebih banyak memenjarakan dan mengabaikan keadilan restoratif.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV