Korban Meninggal Akibat Covid-19 di Dunia Tembus 2 juta orang
Kompas dunia | 16 Januari 2021, 06:05 WIBDUNIA, KOMPAS.TV - Pandemi Covid-19 akibat virus Corona sudah merampas 2 juta nyawa di seluruh dunia hari Jum'at (15/01/2021) saat vaksin yang dikembangkan dan dibuat dengan kecepatan luar biasa mulai hadir di penjuru dunia.
Upaya vaksinasi mulai dijalankan di berbagai negara, berupaya memberi suntikan pertama vaksin kepada sebanyak mungkin orang, adu balap dengan maut virus Covid-19 terus mengambil nyawa.
Tonggak mengerikan itu dicapai hanya satu tahun setelah virus corona pertama kali terdeteksi di kota Wuhan, China.
Jumlah total korban meninggal, yang dikompilasi oleh Johns Hopkins University, kira-kira sama dengan jumlah penduduk Brussel di Belgia, atau Makkah di Arab Saudi, atau Minsk di Rusia, atau Vienna di Austria.
Angkanya kurang lebih sama dengan jumlah penduduk sebuah kota, ekuivalen dengan jumlah penduduk di pusat kota Cleveland Amerika Serikat, atau seluruh negara bagian Nebraska, sebagai perbandingan.
Baca Juga: Terus Melonjak, Kini China Rawat Lebih Dari 1.000 Orang Karena Covid-19
Sementara perhitungan tersebut berdasarkan data dan angka yang dilaporkan pemerintahan di seluruh dunia, angka sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi, sebagian karena tes yang tidak mencukupi dan banyaknya korban meninggal yang dicatat karena sebab lain, terutama di masa-masa awal pandemi.
Dunia membutuhkan waktu delapan bulan untuk mencapai 1 juta korban meninggal, dan hanya kurang dari empat bulan untuk mencapai satu juta berikutnya.
"Di belakang angka mengerikan ini ada nama, ada wajah, ada kisah, ada senyum. Ada kenangan disana. Ada sebuah kursi makan yang akan selamanya kosong ditinggalkan, di ruang yang menggemakan keheningan dan kesedihan mereka yang ditinggalkan," tutur Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres seperti dikutip Associated Press (16/01/2021)
Guterres menambahkan, semua itu "menjadi lebih buruk karena tiadanya upaya global yang terkoordinasi,"
"Ilmu pengetahuan berhasil, namun kesetiakawanan gagal," kata Guterres
Ini Bukan Permainan
"Jumlah kematian sungguh-sungguh mengerikan," tutur Dr. Ashsi Jha, pakar pandemi dan dekan Sekolah Kesehatan Masyarakat Brown University. Pada saat yang sama, tuturnya, "komunitas ilmiah kita sudah meraih prestasi kerja yang luar biasa,"
Negara kaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, Kanada, dan Jerman, jutaan warga sudah mendapat suntikan pertama vaksin Covid-19, yang diberikan secepat kilat setelah proses persetujuan yang lebih cepat lagi.
Namun di lain tempat, vaksinasi bahkan masih diatas kertas. Banyak pakar yang memprediksi, kursi makan dan sisi tempat tidur itu akan makin banyak kosong di keheningan di negara-negara seperti Iran, India, Meksiko dan Brazil, yang bila digabungkan akan berjumlah seperempat dari seluruh korban meninggal di dunia.
"Sebagai sebuah negara, sebagai bagian dari masyarakat, sebagai warganegara, kita betul-betul belum mengerti," tutur Israel Gomez, seorang paramedik yang sudah berbulan-bulan mengantar pasien Covid-19 dengan ambulans, berupaya sekuat tenaga mencari tempat tidur yang tersisa di rumah sakit yang ada,"Kita belum paham bahwa ini bukanlah permainan, tapi ini betul-betul nyata,"
Baca Juga: Target Vaksinasi Selesai Dalam 15 Bulan, IDI: Dengan Kerja Keras dan Ketersediaan Vaksin
Meksiko yang berpenduduk 130 juta orang sudah menerima setengah juta dosis vaksin, dan baru berhasil memberi kurang dari setengah jumlah itu kepada tenaga medis garis depan mereka.
Kenyataan itu sangat kontras dibanding tetangga mereka di utara, Amerika Serikat. Terlepas dari hari dan bulan sebelumnya, sudah ratusan ribu orang menyingsingkan lengan baju untuk mendapat suntikan pertama vaksin Covid-19, di negeri dimana virus Corona sudah menjadi malaikat maut bagi 390,000 warganya. Jumlah tertinggi di dunia.
Sejauh ini, sudah lebih dari 35 juta dosis vaksin berbagai jenis yang disuntikkan di berbagai negara, seperti dicatat Universitas Oxford, Inggris.
Baca Juga: Tingkatkan Target Produksi Vaksin, Pfizer Kurangi Pengiriman Vaksin ke Eropa
Sementara vaksinasi di negara-negara kaya dihiasi antrian mengular untuk mendapat vaksin, dan diwarnai sedikit kekurangan disana-sini, halangan menghadang seperti gunung bagi negara-negara yang lebih miskin, dimana mereka memiliki sistem kesehatan yang lemah da dihiasi oleh buruknya transportasi, maraknya korupsi, dan kurangnya suplai listrik untuk menjaga suhu vaksin.
Saat ini, mayoritas dosis vaksin Covid-19 sudah dilahap negara-negara kaya. Covax, sebuah proyek yang didukung BB untuk menyediakan vaksin bagi negara-negara miskin dan berkembang, saat ini kekurangan vaksin, kekurangan uang, dan kekurangan bantuan logistik.
Hasilnya? Kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia WHO memberi peringatan, herd immunity, atau kekebalan kelompok, yang membutuhkan vaksinasi kepada 70 persen penduduk dunia, tidak akan tercapai tahun ini.
Baca Juga: Berapa Lama Vaksin Sinovac Melindungi Tubuh dari Virus Corona, Ini Penjelasan BPOM
Seperti yang sudah ditunjukkan oleh bencana ini, menghadang pandemi tidak cukup dengan menghadang virus hanya di beberapa tempat saja.
"Bila ini (vaksinasi) dilakukan di beberapa kantong, di beberapa negara saja, tidak akan mungkin melindungi orang di penjuru dunia," kata Dr. Soumya Swaminathan minggu ini.
Pakar kesehatan kuatir, bila vaksin tidak didistribusikan secepat dan seluas yang diharapkan, maka virus bisa mendapat kesempatan bermutasi dan mengalahkan vaksin yang ada. Sungguh sebuah skenario mimpi buruk, tutur Dr. Ashi Jha.
Di Wuhan, tempat asal mula pandemi mula menyebar akhir 2019, sebuah tim yang dipimpin WHO sudah tiba hari Kamis (14/01/2021) dengan pekerjaan besar menyelidiki asal mula dan asal muasal virus tersebut, yang diyakini mulai menyebar kepada manusia melalui perantaraan satwa liar.
Baca Juga: Efektivitas Vaksin Covid-19 untuk Ekonomi Indonesia
Kota di China yang berpenduduk 11 juta jiwa itu sekarang kembali gegap gempita, menyisakan sedikit sekali tanda-tanda dulu pernah terjadi bencana yang membuat kota itu menjalani karantina wilayah atau lockdown selama 76 hari dan kehilangan 3,800 warganya yang meninggal diambil Covid-19
"Kami sekarang tidak setakut atau sekhawatir dulu," tutur Qin Qiong, seorang pemilik kedai mie. "Kami sekarang hidup normal. Saya naik kereta bawah tanah untuk datang ke tempat usaha saya ini...kecuali untuk tamu-tamu kita yang diwajibkan menggunakan masker, semuanya sudah sama (seperti dulu)
Baik di negara kaya maupun miskin, pandemi ini juga memakan korban lain, yaitu hancurnya ekonomi, yang berakibat pada hilangnya pekerjaan sedemikian banyak orang dan menjerumuskan banyak sekali keluarga ke jurang kemiskinan.
Baca Juga: Ada 15 Kondisi Seseorang Tidak Dapat Disuntik Vaksin Covid-19 buatan Sinovac
Di Eropa, dimana lebih dari seperempat kematian akibat Covid-19 terjadi, karantina wilayah dan jam malam kembali diterapkan, dan kini makin ketat, untuk menghadang kemunculan kembali virus tersebut, ditambah dengan varian baru yang diyakini lebih gampang menular.
Bahkan di beberapa negara kaya dunia, upaya vaksinasi dilaksanakan lebih lambat dari yang diperkirakan. Prancis, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di Eropa dan menderita 69,000 korban meninggal, akan membutuhkan tahunan, bukan hitungan bulan, untuk memvaksinasi seluruh 53 juta warganya yang usia dewasa, kecuali betul-betul mempercepat pelaksanaan vaksinasi.
Di kota Poissy, barat ibukota Paris, suntikan pertama vaksin Covid-19 buatan Pfizer disambut lega warga disana.
"Kami hidup di dalam sudah hampir satu tahun. Itu bukan kehidupan namanya," tutur Maurice Lachkar, mantan praktisi akupuntur berusia 78 tahun yang masuk ke dalam kategori prioritas utama karena penyakit diabetes yang diderita, selain karena usianya. "bila saya tertular virus itu, sudahlah, selesai cerita saya," tutur Maurice.
Baca Juga: Ahli Epidemologi Ingatkan Penerima Vaksin Tidak Menganggap Setelah Disuntik Bebas dari Virus Corona
Maurice dan istrinya, Nicole, yang juga mendapat suntikan vaksinasi, mengatakan mereka mungkin akan diijinkan memeluk kembali dua anak dan empat cucu mereka, yang baru mereka temui satu atau dua kali dari jarak jauh sejak awal pandemi ini.
"Ini sungguh membebaskan," tutur Maurice.
Di negara berkembang, gambarannya sama. Liang lahat demi liang lahat terus digali, rumah sakit didesak melampaui batas maksimalnya, diperburuk oleh bertumbangannya tenaga kesehatan akibat kurangnya alat pelindung diri.
Di Peru, yang memiliki tingkat kematian akibat COVID-19 tertinggi di Amerika Latin, ratusan petugas kesehatan melakukan pemogokan minggu ini untuk menuntut gaji dan kondisi kerja yang lebih baik di negara di mana 230 dokter telah meninggal karena penyakit tersebut.
Di Brasil, pihak berwenang di kota terbesar hutan hujan Amazon berencana memindahkan ratusan pasien keluar karena pasokan tangki oksigen yang menipis yang mengakibatkan beberapa orang sekarat di rumah.
Di Honduras, ahli anestesi Dr. Cesar Umaña merawat 25 pasien di rumah mereka melalui telepon karena rumah sakit kekurangan kapasitas dan peralatan.
“Ini benar-benar kekacauan,” katanya.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV