Pengadilan Korsel Perintahkan Jepang Bayar Ganti Rugi Kepada Korban Perbudakan Seks Selama PD II
Kompas dunia | 9 Januari 2021, 03:45 WIBSEOUL, KOMPAS TV - Pengadilan Korea Selatan (Korsel) pada Jumat (08/01/0201) memerintahkan pemerintah Jepang untuk membayar ganti rugi kepada para korban asal Korsel yang dipaksa menjadi budak seks untuk rumah bordil militer milik Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia (PD) II, demikian dilaporkan Xinhua pada Jum'at (08/01/2021).
Pengadilan Distrik Pusat Seoul memutuskan bahwa Jepang harus membayar ganti rugi sebesar 100 juta won (100 won = 1.282 rupiah) kepada masing-masing 12 penggugat, yang mengajukan petisi penyelesaian sengketa di pengadilan tersebut pada Agustus 2013.
Hal ini menandai untuk pertama kalinya pengadilan di Korsel menjatuhkan putusan yang memerintahkan Jepang untuk membayar ganti rugi kepada para korban yang secara halus disebut "wanita penghibur".
Baca Juga: Bedah Kosmetik Laris Manis di Korea Selatan Mumpung Masih Wajib Masker Cegah Covid-19
Gugatan klaim ganti rugi tersebut baru diajukan ke pengadilan di Seoul tersebut pada Januari 2016, dan sidang pertama digelar pada April tahun lalu saat pemerintah Jepang menolak menerima petisi kasus perdata itu secara resmi.
Dalam putusannya, pengadilan tersebut menyatakan bahwa pihak penggugat menderita rasa sakit fisik dan mental yang ekstrem dan tak terbayangkan dan bahkan tidak mendapatkan kompensasi atas penderitaan mereka, seraya menyebut tindakan ilegal yang dilakukan oleh terdakwa dapat diketahui melalui sejumlah bukti, materi yang relevan, dan testimoni.
Putusan itu menyatakan bahwa hal yang masuk akal jika menilai jumlah ganti rugi dapat mencapai lebih dari 100 juta won.
Jepang bersikukuh bahwa kasus itu harus dibatalkan mengingat adanya hukum kekebalan kedaulatan yang memungkinkan sebuah negara kebal dari gugatan perdata di pengadilan asing.
Baca Juga: Michael Yukinobu Akui Dapat Doa dan Dukungan dari Keluarganya di Jepang
Namun, pengadilan di Korsel tersebut memaparkan hukum itu tidak dapat diterapkan dalam kasus itu karena tindakan ilegal tersebut merupakan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan secara sengaja, sistematis, dan luas oleh Kekaisaran Jepang.
Para sejarawan menuturkan ratusan ribu wanita Asia, yang sebagian besar berasal dari Semenanjung Korea, diculik, dipaksa, atau ditipu untuk dijadikan budak seks bagi pasukan Jepang sebelum dan selama Perang Pasifik.
Associated Press melaporkan, proses persidangan dalam kasus ini berlarut-larut karena Jepang menolak untuk menerima dokumen resmi. Tujuh dari 12 wanita meninggal saat menunggu putusan.
Baca Juga: Matahari Buatan Korea Selatan Menyala Lebih Lama, Catat Rekor Dunia Baru
20 wanita lainnya, beberapa sudah sakit dan diwakili oleh kerabat mereka yang masih hidup, mengajukan gugatan terpisah terhadap Jepang, dan keputusan pengadilan diharapkan terjadi minggu depan.
Para wanita itu termasuk di antara puluhan ribu wanita di seluruh wilayah Asia dan Pasifik yang diduduki dan dikirim ke rumah bordil militer Jepang di garis depan.
Sekitar 240 wanita Korea Selatan maju dan mendaftar ke pemerintah sebagai korban perbudakan seksual, tetapi hanya 16 dari mereka, semuanya berusia 80-an dan 90-an, yang masih hidup.
Para pengamat mengatakan Jepang tidak mungkin mematuhi putusan pengadilan Korea Selatan.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Meningkat, Jepang Pertimbangkan Umumkan Status Darurat
Sebuah kelompok pendukung untuk perempuan yang dipaksa bekerja sebagai budak seks mengatakan mungkin akan mengambil langkah hukum untuk menyita aset pemerintah Jepang di Korea Selatan jika Jepang menolak memberikan kompensasi kepada para korban.
Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Wakil Menteri Luar Negeri Takeo Akiba telah memanggil Duta Besar Korea Selatan Nam Gwan-pyo untuk mendaftarkan protes Tokyo atas keputusan tersebut.
Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato juga menyebut keputusan itu "sangat disesalkan," mengatakan "pemerintah Jepang tidak dapat menerima ini dengan cara apa pun."
Baca Juga: Pemerintah Jepang Resmi Berlakukan Status Darurat Tokyo Chiba Kanagawa dan Saitama
Kementerian Luar Negeri Korea Selatan mengatakan pada Jumat malam akan menghormati putusan tersebut dan akan berusaha untuk memulihkan martabat perempuan.
Dikatakan akan memeriksa kemungkinan efek putusan pada hubungan dengan Jepang dan melakukan upaya untuk mempertahankan kerja sama "berorientasi masa depan" dengan Tokyo.
Seoul dan Tokyo, keduanya sekutu utama AS, terkait erat satu sama lain secara ekonomi dan budaya.
Namun perselisihan sejarah dan teritorial mereka yang berasal dari pendudukan kolonial Jepang sering kali mempersulit upaya Washington untuk memperkuat kerja sama trilateral untuk menangani ancaman nuklir Korea Utara dan pengaruh China yang semakin besar di wilayah tersebut.
Baca Juga: Dianggap Simbol Perbudakan, Patung Christopher Columbus Dirobohkan Massa
Hubungan mereka anjlok ke salah satu level terendah dalam beberapa dekade setelah Mahkamah Agung Korea Selatan pada 2018 memerintahkan perusahaan Jepang untuk menawarkan reparasi kepada beberapa penggugat tua Korea Selatan atas kerja paksa masa perang mereka.
Perselisihan itu meningkat menjadi perang dagang yang membuat kedua negara menurunkan status perdagangan satu sama lain, dan kemudian meluas ke masalah militer ketika Seoul mengancam akan mengakhiri perjanjian berbagi intelijen militer trilateral 2016 yang melibatkan AS.
Pada 2015, pemerintah Korea Selatan sebelumnya mencapai kesepakatan dengan Jepang untuk menyelesaikan sengketa perbudakan seksual.
Baca Juga: Lecehkan Murid Secara Seksual di 2019, 273 Guru di Jepang Dihukum
Berdasarkan kesepakatan itu, Jepang menawarkan permintaan maaf baru dan setuju untuk mendanai yayasan untuk mendukung para korban sebagai imbalan atas penghentian Korea Selatan untuk mengkritik Jepang atas masalah tersebut di panggung dunia.
Namun pemerintah Korea Selatan saat ini, yang dipimpin oleh Presiden Moon Jae-in, mengambil langkah-langkah untuk membubarkan yayasan tersebut, dengan mengatakan kesepakatan tahun 2015 tidak memiliki legitimasi karena pejabat gagal berkomunikasi dengan benar dengan para korban sebelum mencapainya.
Penulis : Edwin-Shri-Bimo
Sumber : Kompas TV