Prancis Luncurkan Rancangan Undang-undang Untuk Melawan Radikalisme
Kompas dunia | 10 Desember 2020, 06:14 WIBPARIS, KOMPAS.TV - Pemerintah Prancis mengumumkan Rancangan Undang-undang (RUU) yang bertujuan mempersenjatai Prancis untuk melawan radikalisme, Rabu (9/12/2020). RUU ini merupakan proyek yang dipromosikan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, untuk membasmi apa yang disebutnya sebagai separatis yang merusak bangsa.
Prancis telah mendapatkan banyak serangan radikalisme, termasuk pemenggalan kepala yang mengerikan terhadap seorang guru pada bulan Oktober lalu, setelah menunjukkan kartun Nabi Islam di kelasnya. Beberapa minggu kemudian terjadi serangan di dalam gereja terbesar di Nice yang menewaskan tiga orang.
RUU ini menargetkan aturan tentang sekolah dari rumah, masjid, atau asosiasi yang menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Prancis, yang oleh pihak berwenang disebut "hidra Islam", yang dianggap dapat menumbuhkan kekerasan di beberapa negara.
Baca Juga: Macron Kecewa Polisi Kerap Diskriminasi Warga Kulit Berwarna, Prancis Siapkan Alat Pantau
Beberapa pihak di Prancis menganggap RUU itu terlalu lunak, atau sebagian orang menganggap ini merupakan bagian dari manuver politik Macron menjelang pemilihan presiden 2022, untuk menjaring pemilih sayap kanan. Diperkirakan RUU ini akan memicu perdebatan yang panjang ketika diajukan ke Parlemen dalam beberapa bulan mendatang.
Topik ini sangat sensitif, karena populasi muslim di Prancis cukup besar, yaitu sekitar 5 juta orang. Namun RUU ini tidak menyebut Islam secara langsung, untuk menghindari stigmatisasi terhadap muslim.
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin, yang juga bertanggung jawab atas urusan keagamaan, mengatakan secara terpisah bahwa Macron telah memintanya untuk mengatur misi parlemen untuk memerangi tindakan anti-Kristen, anti-Yahudi dan anti-Muslim.
“Kebencian agama semakin meningkat. Itu menyentuh dan menyakitkan semua orang, ” katanya.
Saat memperkenalkan RUU untuk melawan separatisme, Perdana Menteri Jean Castex menekankan bahwa RUU itu bukanlah teks yang menentang agama, atau dikhususkan pada agama Islam.
Baca Juga: Macron Disamakan dengan Nazi atas Perlakuannya ke Umat Muslim, Prancis Meradang
“Sebaliknya, RUU itu adalah undang-undang kebebasan, undang-undang perlindungan, undang-undang emansipasi dari fundamentalisme Islam atau ideologi lain yang mengejar tujuan yang sama,” katanya Castex seperti dikutip dari the Associated Press.
Castex, berbicara pada konferensi pers setelah RUU diajukan ke Kabinet. Ia mengatakan, mereka yang berusaha untuk memecah belah dan menyebarkan kebencian dan kekerasan sesungguhnya telah berada di jantung separatisme.
“Separatisme sangat berbahaya karena merupakan manifestasi dari proyek religius yang sadar, berteori, dan politik dengan ambisi untuk membuat norma agama lebih dominan daripada hukum. Prancis bermaksud untuk mempertahankan dirinya sendiri," tambah Castex.
Salah satu langkah penting yang dilakukan pemerintah Prancis adalah dengan mewajibkan sekolah pada anak sejak usia 3 tahun, yang memungkinkan pilihan sekolah di rumah hanya dalam kasus-kasus khusus saja. Tindakan itu ditujukan untuk mengakhiri pendidikan yang dilakukan sendiri di rumah dan dijalankan oleh fundamentalis dengan agenda mereka sendiri.
Aturan lain dalam RUU itu mendorong masjid untuk didaftarkan sebagai tempat ibadah, untuk lebih mengidentifikasi masjid. Sebanyak lebih dari 2.600 masjid yang ada di negara itu, sering memiliki sekolah Al Quran yang saat ini beroperasi di bawah aturan asosiasi.
Selain itu, ada juga aturan bahwa hakim dapat melarang siapa pun untuk mengunjungi masjid, jika dia sedang dihukum karena memprovokasi terorisme, diskriminasi, kebencian, atau melakukan tindakan kekerasan. Pendanaan asing untuk masjid, juga harus diumumkan jika melebihi 10.000 euro (Rp 170 juta).
Dalam bagian tentang martabat manusia, RUU tersebut akan menetapkan pemberian sertifikat keperawanan sebagai tindak kejahatan. Dokter yang memberikan sertifikan keperawanan dapat dihukum dengan denda dan hingga satu tahun penjara. Sertifikat keperawanan terkadang diberikan seorang dokter sebelum upacara pernikahan muslim di Prancis.
Baca Juga: Macron Kritik Media Karena Dianggap Melegitimasi Serangan Ekstrimis Islam di Prancis
Untuk menghapus kawin paksa, juga diatur tentang pertemuan calon pengantin secara terpisah dengan seorang pejabat, untuk dilakukan wawancara. Jika dicurigai adanya kawin paksa, maka pejabat tersebut harus membawa masalah ini kepada jaksa, yang dapat melarang terjadinya pernikahan.
Selain itu, bagi warga yang mempraktikkan poligami, akan dilarang menggunakan kartu penduduk Prancis.
Macron dalam pidatonya di bulan Oktober menjelaskan alasannya ingin menangani ekstremisme dalam segala bentuknya. Dia mengatakan para ekstremis ingin menciptakan tatanan paralel, membangun nilai-nilai lain dan mengembangkan organisasi masyarakat yang lain. “Awalnya mereka separatis, tetapi tujuan akhirnya adalah mengambil kendali penuh," ujarnya.
Penulis : Tussie-Ayu
Sumber : Kompas TV