Embargo PBB Berakhir, Iran Sudah Bisa Beli Senjata Perang Lagi
Kompas dunia | 18 Oktober 2020, 22:21 WIBTEHERAN, KOMPAS.TV - Iran menyatakan embargo PBB atas penjualan senjata ke dan dari Republik Islam itu berakhir hari ini, Minggu (18/10/2020). Ini sejalan dengan kesepakatan nuklir penting dengan kekuatan dunia pada 2015 lalu bahwa Washington telah menarik diri.
Teheran, yang sekarang dapat membeli senjata dari Rusia, China, dan tempat lain, memuji perkembangan tersebut sebagai kemenangan diplomatik atas musuh bebuyutannya, Amerika Serikat, yang telah mencoba untuk terus mempertahankan embargo senjata kepada Iran untuk waktu yang tidak terbatas.
"Mulai hari ini, seluruh pembatasan transfer senjata, kegiatan terkait dan layanan keuangan ke dan dari Republik Islam Iran ... semuanya otomatis berakhir," ujar pihak Kementerian Luar Negeri Iran seperti dikutip dari Arab News.
Baca Juga: Iran Ejek AS usai DK PBB Tolak Proposal Embargo Senjata
Embargo penjualan senjata konvensional ke Iran akan berakhir secara bertahap mulai Minggu, 18 Oktober 2020. Ini berdasarkan resolusi PBB yang mendukung kesepakatan nuklir 2015 antara Republik Islam dan beberapa negara dunia.
"Mulai hari ini, Republik Islam dapat memperoleh senjata dan peralatan yang diperlukan dari sumber mana pun tanpa batasan hukum, dan hanya berdasarkan kebutuhan pertahanannya," tambah Kementerian Luar Negeri Iran dalam pernyataan mereka.
Pemerintah Iran bersikeras di bawah persyaratan kesepakatan bersama Amerika Serikat, China, Inggris, Prancis, Jerman, dan Rusia, bahwa pembatasan pencabutan senjata dan larangan perjalanan berlaku otomatis tanpa memerlukan tindakan lain.
Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan nuklir pada 2018 dan secara sepihak mulai menerapkan kembali sanksi terhadap Iran.
Tetapi Washington mengalami kemunduran pada Agustus ketika gagal mendapat dukungan dari Dewan Keamanan PBB untuk memperpanjang embargo senjata kepada Iran tanpa batas waktu.
"Itu adalah hari yang penting bagi komunitas internasional," kata kementerian Iran pada Minggu, lalu menambahkan bahwa dunia telah berdiri bersama Teheran yang bertentangan dengan upaya rezim AS.
Terlepas dari penarikan diri, pemerintah Amerika Serikat di bawah Donald Trump berkeras negaranya masih menjadi “peserta” dari kesepakatan tersebut, dan berhak untuk kembali menerapkan sanksi kepada Iran.
Washington mengatakan, mereka telah memutuskan secara unilateral untuk kembali menerapkan seluruh sanksi PBB terhadap Iran, yang saat ini berakhir berdasarkan kesepakatan nuklir 2015.
Namun argumen Amerika Serikat ditolak oleh hampir seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, di mana sekutu Eropa mengatakan, prioritas semua pihak adalah menyelamatkan solusi damai bagi program nuklir Iran.
Iran mendesak AS untuk meninggalkan pendekatan destruktif vis-a-vis Resolusi 2231 seraya menambahkan bahwa upaya Amerika untuk "melanggar" resolusi telah ditolak mentah-mentah beberapa kali dalam tiga bulan terakhir oleh Dewan Keamanan PBB.
Pemerintah Iran menambahkan, dalam kasus tindakan yang merupakan pelanggaran material dari resolusi dan tujuan dari kesepakatan itu, Iran berhak untuk mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.
Sementara Moskow pada September lalu, seperti diberitakan Arab News mengatakan pihaknya siap meningkatkan kerja sama militer dengan Teheran. Beijing juga telah berbicara tentang kesediaan menjual senjata ke Iran setelah berakhirnya embargo pada 18 Oktober 2020.
Baca Juga: Mengejutkan, Ternyata Ada Rakyat Iran yang Doakan Trump Sembuh
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dikutip Arab News mengatakan dalam sebuah tweet bahwa komunitas internasional telah "melindungi" kesepakatan nuklir tersebut dan hari Minggu menandai normalisasi kerja sama pertahanan Iran dengan dunia.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang Iran membeli sistem senjata dari negara lain pada tahun 2010 di tengah ketegangan atas program nuklirnya. Sebelumnya, Iran mengalami embargo ekspor senjata ke negara lain.
Badan Intelijen Pertahanan AS seperti dikutip Associated Press memperkirakan pada 2019 jika embargo berakhir, Iran kemungkinan akan membeli jet tempur Su-30 Rusia, pesawat latih Yak-130 dan tank T-90.
Teheran juga mungkin mencoba membeli sistem rudal anti-pesawat S-400 Rusia dan sistem rudal pertahanan pesisir Bastion.
Iran selama ini tertinggal jauh dari negara-negara Teluk yang didukung AS seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang telah membeli miliaran dolar persenjataan canggih Amerika Serikat.
Menanggapi hal tersebut, Teheran beralih ke pengembangan rudal balistik buatan lokal. Iran mengecam pembelian peralatan pertahanan buatan AS di Teluk Arab dimana beberapa senjata tersebut digunakan dalam perang yang sedang berlangsung di Yaman.
Konflik itu mengadu domba koalisi pimpinan Saudi yang mendukung pemerintah negara yang diakui secara internasional melawan pasukan pemberontak yang didukung oleh Iran.
Seperti dilansir Associated Press, embargo senjata PBB, tidak menghentikan Iran untuk mengirim senjata mulai dari senapan serbu hingga rudal balistik kepada pemberontak Houthi Yaman.
Sementara Teheran membantah mempersenjatai Houthi, pemerintah negara-negara Barat dan pakar senjata berulang kali mengaitkan senjata Iran dengan pemberontak.
Enam negara Teluk Arab yang mendukung perpanjangan embargo senjata mencatat pengiriman senjata ke Yaman sebagai keberatan mereka terhadap dimulainya kembali penjualan senjata ke Iran.
Mereka juga menyebutkan dalam sebuah surat kepada Dewan Keamanan PBB bahwa Iran secara keliru menembak jatuh sebuah pesawat penumpang Ukraina pada bulan Januari dan angkatan lautnya secara tidak sengaja menewaskan 19 pelaut dalam serangan rudal selama latihan.
Baca Juga: Garda Revolusi Iran Ancam Incar Pejabat AS yang Terlibat Pembunuhan Qassem Soleimani
PBB juga mengaitkan Iran dengan serangan 2019 di kilang minyak mentah utama Arab Saudi, meskipun Teheran menyangkal adanya hubungan apa pun dan pemberontak Yaman, Houthi, mengaku bertanggung jawab.
Hari Minggu juga menandai berakhirnya larangan perjalanan PBB terhadap sejumlah anggota Garda Revolusi militer dan paramiliter Iran.
Ketegangan antara Iran dan AS mencapai puncaknya pada awal tahun ini, ketika pesawat tak berawak Amerika membunuh seorang jenderal top Iran di Baghdad. Teheran membalas dengan serangan rudal balistik terhadap pasukan AS di Irak yang melukai puluhan.
Sementara itu, Iran beberapa kali sengaja melanggar batas kesepakatan nuklir dalam upaya menekan Eropa untuk menyelamatkan kesepakatan itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, provokasi antara Iran dan Amerika Serikat melambat ketika Presiden Donald Trump menghadapi kampanye pemilihan ulang melawan mantan Wakil Presiden Joe Biden.
Biden mengatakan dia bersedia menawarkan Iran jalan yang kredibel untuk kembali ke diplomasi jika Teheran kembali menuruti "kepatuhan ketat" dalam kesepakatan nuklir tersebut. (Edwin S Bimo)
Baca Juga: Proposal Perpanjangan Embargo Iran Ditolak DK PBB, AS Belum Menyerah
Penulis : fadhilah
Sumber : Kompas TV