Tsundoku, Istilah untuk yang Suka Beli Buku Banyak tapi Tak Pernah Membacanya
Tips, trik, dan tutorial | 6 Oktober 2021, 13:49 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Apakah kamu termasuk orang yang memiliki kebiasaan membeli buku dan tidak pernah membacanya hingga menumpuk?
Kamu mungkin tanpa sadar terlibat dalam tsundoku, istilah Jepang yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki banyak buku yang belum dibaca.
Melansir Huffpost, Rabu (6/10/2021), tsundoku didefinisikan sebagai penimbunan buku yang tak pernah habis. Istilah ini menggabungkan kata “tsude” yang artinya menumpuk barang, “oku” yang berarti pergi sebentar, dan “doku” yang artinya membaca.
Sebagian besar topik tentang tsundoku menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan kondisi penimbunan buku itu sendiri, namun The LA Times menggunakaknnya sebagai kata benda yang menggambarkan orang yang menderita sindrom penimbunan buku.
Baca Juga: Sebarkan Budaya Membaca Buku Seni, RM BTS Sumbang Rp1,2 M ke Museum Kesenian
Media tersebut mendefinisikan tsundoku sebagai seseorang yang membeli buku dan tidak membacaranya, kemudian membiarkannya menumpuk di lantai, rak, dan berbagai macam perabot.
Profesor Andrew Gerstle yang mengajar teks-teks Jepang pra-modern di Univeristy of London menjelaskan bahwa istilah tersebut ditemukan di media cetak sejak tahun 1879.
“Istilah ‘tsundoku sensei’ muncul dalam teks dari tahun 1879 menurut penulis Mori Senzo, yang cenderung menyindir tentang seorang guru yang memiliki banyak buku tetapi tidak membacanya,” jelas Gerstle, dikutip dari BBC.
Meski penggunaan istilah tsundoku terdengar seperti penghinaan, Gerstle mengatakan bahwa istilah tersebut tidak membawa stigma apa pun di Jepang.
Bicara tentang buku, istilah bibliomania juga muncul di Inggris dalam waktu yang sama dengan tsundoku. Bibliomania adalah istilah yang menggambarkan orang yang tidak bisa berhenti mengumpulkan buku.
Seorang bibliografi Inggris bernama Thomas Frognall Dibdin menulis buku berjudul “Bibliomania or Book Madness: A Bibliographical Romance” pada 1800-an.
Dalam buku tersebut, dia menguraikan ‘neurosis’ fiksi yang mendorong penderitanya secara obsesif mengumpulkan segala jenis buku.
Istilah ini pada masa itu diingat sebagai istilah yang kelam dan berbahaya. Beberapa kolektor menghabiskan seluruh kekayaannya untuk membangun perpustakaan pribadi mereka yang tidak pernah dibaca.
Baca Juga: Siswa Kelas 4 SD Lupa Cara Membaca, Apakah Dampak Pandemi?
Meski tidak pernah diklasifikasikan secara medis, orang-rang di tahun 1800-an takut dengan bibliomania.
Menurut definisinya, mereka yang menderita bibliomania terobsesi dengan buku-buku unik, seperti buku edisi pertama atau salinan bergambar.
Namun, dua abad kemudian, istilah tersebut tidak didefinisikan sebagai obsesi. Menurut Oxford University Press, istilah tersebut telah bergeser pada antusiasme yang menggebu-gebu tentang mengoleksi.
Berbeda dengan bibliomania, tsundoku nampaknya lebih didefinisikan secara ringan sebagai belanja buku kompulsif dan menumpuknya, kemudian dibiarkan tidak dibaca.
Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Huffpost/BBC