Meme "Barbenheimer" Tuai Kritik di Jepang, Warner Bros Minta Maaf
Film | 3 Agustus 2023, 12:36 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Rumah produksi Warner Bros membuat permintaan maaf secara publik terkait meme Barbenheimer yang menuai kritik di Jepang. "Barbenheimer" merupakan persilangan judul film Barbie dan Oppenheimer.
Para kritikus mengecam Warner Bros karena tidak sensitif menyandingkan film Barbie dengan film Oppenheimer yang menceritakan masa lalu negara Jepang terkait pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki.
Warner Bros Jepang pada Senin (31/7/2023) mengunggah pernyataan tentang "Barbenheimer". Mereka menyayangkan cabang studio AS karena memasukkan "Barbenheimer".
Baca Juga: Satu Minggu Tayang, Film "Barbie" Kokoh di Puncak Box Office, "Oppenheimer" di Urutan Kedua
Keesokan harinya, Warner Bros AS pun menanggapi pernyataan tersebut dengan meminta maaf.
“Warner Brother menyesali keterlibatan media sosial yang tidak sensitif baru-baru ini. Studi menawarkan permintaan maaf yang tulus,” kata perwakilan perusahaan, Selasa (1/8/2023), seperti dikutip dari Variety.
Sebagai informasi, Oppenheimer merupakan film yang menceritakan sosok J. Robert Oppenheimer, seorang ilmuwan yang memimpin Proyek Manhattan untuk membuat bom atom selama Perang Dunia II.
Oppenheimer berusaha mencari tahu apa yang perlu terjadi untuk memicu dan mempertahankan jenis reaksi berantai neutron yang diperlukan untuk menciptakan ledakan nuklir.
Bom atom tersebut menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Diperkirakan, sebanyak 226 orang tewas akibat pengeboman tersebut.
Hingga saat ini, Oppenheimer tak ditayangkan di Jepang. Publik berasumsi bahwa masyarakat Jepang masih mengalami trauma yang cukup besar akibat peristiwa bom atom tersebut.
Baca Juga: Oppenheimer dan Barbie Meledak, Pertanda Dunia Tuntut Ide Orisinal dan Baru dalam Hiburan
Melansir ub.ac.id, dampak radiasi dari ledakan bom atom tersebut juga masih menyisakan penderitaan untuk jangka waktu yang lama. Paparan radiasi tersebut menimbulkan penyakit, seperti kanker, mutasi genetik, kerusakan jaringan kulit, hingga dampak psikologis.
Keturunan penyintas juga masih mengalami diskriminasi sosial karena dianggap sebagai pembawa gen cacat dan penyakit. Mereka kesulitan mencari pasangan dan mendapatkan pekerjaan.
Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Variety, ub.ac.id