82 Tahun "Presiden Penyair Indonesia" Sutardji Calzoum Bachri: Mabuk, Mantra dan Religiusitas
Seni budaya | 24 Juni 2023, 11:22 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Penyair Sutardji Calzoum Bachri berusia 82 tahun hari ini, Sabtu 24 Juni 2023. Serangkaian acara diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, untuk merayakan hari lahir sosok yang disebut "Presiden Penyair Indonesia" itu, mulai dari seminar, lomba baca puisi hingga pentas teater.
Di usia yang tidak muda lagi, Sutardji hadir di berbagai acara tersebut, dengan langkah yang masih terlihat tegap, mata, telinga masih awas dan bicara pun tetap jelas.
Saat ditanya badannya yang masih bugar, dia menjawab singkat, "Ya ada juga sakit-sakitnya," katanya.
Dalam acara diskusi perayaan ulang tahunnya di Pusat Dokumentasi H.B Jasin (TIM), Selasa (20/6) bertajuk "Pemberontakan Mantra dan Religiusitas", Sutardji memberikan penjelasan tentang puisi-puisinya yang disebut puisi mantra.
"Tidak ada penyair yang menulis di kertas kosong. Penyair adalah buah hati tradisi, kalau menulis harus ada tradisi," ujarnya.
Kertas tempat penyair menulis itu adalah tradisi, budaya yang mempengaruhi para penyair.
Baca Juga: Tema dan Sejarah Hari Puisi Sedunia 2023 Hari Ini 21 Maret, Dilatarbelakangi oleh Apa?
Sutardji mengakui bahwa puisi-puisi mantra yang dia buat pun dengan penuh kesadaran pada tradisi yang berkembang.
"Saya sadar sekali, walaupun saya sering mabuk," katanya.
Beberapa puisinya yang kemudian dikenal itu misalnya, "O" (1971), "Amuk" (1972) dan "Kapak" (1979).
Pada masa-masa inilah dia menggemakan "kredo puisinya" yang terus dikenal sampai sekarang. Dalam Kredo Puisi tersebut, ia berpendapat bahwa kata-kata harus bebas dalam menentukan dirinya karena kata-kata itu sendiri adalah pengertian.
Manifesto puisi ini berarti mengembalikan puisi pada awal mulanya yaitu mantra. Menulis puisi bagi Sutardji adalah mengembalikan pada mantar.
Menurut Maman S Mahayana, yang juga Ketua Yayasan Hari Puisi, lewat puisi mantra itulah Sutardji kemudian banyak melakukan perubahan dalam membuat puisi.
Puisi tidak lagi "tertib" baik susunan tipografi, pemenggalan kata atau penjudulan. Dan gaya Sutardji ini kemudian banyak diikuti oleh penyair berikutnya.
"Orisinalitas dan autensitas SCB (Sutardji Calzoum Bachri) tampil tak tergoyahkan sebagai bukti pemberontakannya," kata Maman.
Namun di usianya yang sudah lewat 80 tahun, kini banyak puisi yang dia ciptakan dengan semangat religiusitas yang kental. Misalnya dalam kumpulan puisi terbarunya "Petiklah Aku" (2022) seperti disampaikan penyair Ahmadun Yosi Herfanda yang jadi pembicara.
"Hampir semua sajak presiden penyair Indonesia ini mengedepankan religiusitas yang menampakkan kedalaman sekaligus mengisyaratkan kegelisahan batin," kata Ahmadun.
Beberapa contohnya, puisi berjudul "Idul Fitri" yang disebut semacam pertaubatan Sutardji, kemudian "Berdepandepan dengan Ka'bah" yang merekam pengalaman puitiknya saat naik haji, "Ramadhan" yang berisi pengalaman spiritual saat menjalani Bulan Ramadan.
Karenanya, kredo puisi Sutardji kini bukan saja soal membebaskan kata, jelas Ahmadun, tapi juga puisi ingin dikenal.
"Maka disukakan pada penyair untuk mencari, menemukan, mengenal, serta menuliskan atau menyampaikan untuk orang lain keindahan/kesaksian yang ditemukannya itu."
Baca Juga: Kumpulan Puisi Romantis Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni hingga Pada Suatu Hari Nanti
Atas berbagai pencapaianya di dunia sastra, lelaki kelahiran Indragiri, Riau, ini pernah mendapatkan banyak penghargaan misalnya, Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta (1977), The S.E.A. Write Award (1979), Bintang Budaya Parama dari pemerintah yang disematkan langsung oleh Presiden SBY di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/8/2008).
Dan malamnya dia mendapatkan penghargaan Ahmad Bakrie Award, yayasan yang didirikan oleh pengusaha Aburizal Bakrie.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV