Cerita Farwiza Farhan, Aktivis Lingkungan yang Masuk 'Time 100 Next'
Lifestyle | 9 Oktober 2022, 06:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Namanya Farwiza Farhan, aktivis lingkungan dan Ketua Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Haka), yang wajahnya menjadi sampul di majalah Time 100 Next.
Farwiza Farhan masuk dalam kategori Leader atas kontribusinya melakukan perlindungan di kawasan ekosistem Leuser.
Kompas TV berkesempatan untuk berbincang dengan Farwiza Farhan terkait kisahnya hingga berhasil masuk Time 100 Next.
Baca Juga: Primata Asli Gunung Leuser itu Orangutan Sumatera, Kini diambang Kepunahan
Perempuan yang karib disapa Wiza ini mengaku tidak menyangka dirinya dihubungi oleh editor Time pada Agustus lalu.
“Kaget dan tidak menyangka. Sejujurnya, ketika saya dihubungi oleh editor Time bulan Agustus lalu, saya sedang terbaring di rumah sakit karena sakit demam berdarah,” kata Wiza dalam Sapa Indonesia Malam, Sabtu (8/10/2022).
“Lalu editor Time meminta saya mengirimkan sebuah deskripsi mengenai pekerjaan yang kita lakukan kawasan ekosistem Leuser dan beruntungnya kolega-kolega saya sangat suportif dan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikirimkan oleh editor Time.”
Editor Time mengatakan bahwa saat itu baru proses nominasi. Tak disangka, pada akhir September 2022 lalu, dia berhasil lolos.
Saat menatap potret dirinya di sampul majalan AS tersebut, Wiza mengatakan bahwa seharusnya dia tidak sendiri. Pekerjaan melindungi kawasan ekosistem Leuser dilakukannya bersama kolega dan masyarakat.
“Harusnya ada semua orang yang ikut terlibat dalam perlindungan kawasan ekosistem Leuser, mulai dari teman-teman di Yayasan Haka, para kolega saya, mitra masyarakat, mitra di pemerintah, bahkan juga lembaga lain di kawasan ekosistem Leuser.”
Perempuan yang telah berkiprah selama 10 tahun sebagai konservasionis itu lantas mendedikasikan penghargaan ini kepada mereka yang bersamanya melindungi ekosistem Leuser.
Baca Juga: Satu-Satunya dari Indonesia! Nadiem Makarim Masuk Daftar TIME 100 Next 2019
Tergerak menjadi konservasionis
Wiza bercerita bahwa kecintaannya terhadap lingkungan tumbuh sejak masa kecil. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cinta lingkungan.
“Kedua orang tua saya sangat suportif atas keinginan saya untuk mendedikasikan hidup melakukan hal-hal seperti ini, menyelam, berkelana di hutan, sampai kemudian membawa saya ke hari ini,” ungkap Wiza.
Farwiza Farhan kemudian bercerita bahwa saat dia menempuh studi S2 di Australia, dia sempat magang di sebuah lembaga think tank yang fokus pada implementasi carbon capture and storage technology untuk mengurangi emisi karbon.
Baca Juga: Harimau Sumatera Sri Nabilla Dilepasliarkan ke Taman Nasional Gunung Leuser
Namun, dia merasa bahwa di sana bukan dunianya. Di tengah proses mencari jati diri, Wiza ‘bertemu’ dengan kawasan ekosisem Leuser. Kala itu, dia tengah membantu seseorang untuk memetakan lembaga-lembaga yang melakukan upaya perlindungan hutan di Sumatra.
"Kemudian dalam proses itu saya merasa tidak bahagia, saya merasa bukan di sini dunia saya, saya merasa saya ingin pulang."
“Saya merasa ini adalah lanskap yang sangat dekat dengan kehidupan saya. Ada keinginan untuk terus melanjutkan upaya-upaya yang sebenarnya sudah dilakukan oleh banyak orang lain.”
Baca Juga: Konflik Gajah Dan Manusia Di Leuser Di Tengahi Dengan Gajah
Konservasi bukan pekerjaan para konservasionis
Mengakhiri perbincangan, Farwiza Farhan mengungkapkan ancaman utama dalam perlindungan kawasan ekosistem di Indonesia.
Menurutnya, ancaman utamanya adalah paradigma yang mengatakan bahwa konservasi merupakan tugas pada konservasionis dan pemerintah.
“Tapi sebenarnya kita semua menikmati jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan, kita semua punya tugas untuk melindungi hutan,” pungkasnya.
“Sadarilah bahwa segala yang kita konsumsi, mulai dari air bersih yang kadang-kadang datangnya lewat galon atau lewat keran itu berasal dari lingkungan yang sehat dan terjaga.”
Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV