Awas! Belum Bisa Memaafkan Dapat Pengaruhi Kesehatan Mental
Lifestyle | 4 April 2022, 08:35 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Rasa sakit hati karena perlakuan tidak menyenangkan orang lain mungkin membuat kita sedih. Namun, merasa bersalah karena belum bisa memaafkan orang lain juga berpengaruh besar pada kesehatan mental kita.
Pada tahap ini, memaafkan diperlukan untuk membebaskan perasaan, namun bukan berarti melupakan. Itu juga bukan berarti menerima, membenarkan, atau mengabaikan suatu peristiwa.
Memaafkan dapat dikatakan sebagai melepaskan dendam yang merupakan penyakit hati. Pelaku mungkin tidak pantas dimaafkan, tetapi kita harus bisa berdamai dengan diri sendiri.
Dalam salah satu drama audio siniar Semua Bisa Cantik bertajuk “Cukupkah dengan Niat Memaafkan? Pt. 2” di Spotify, sosok Ratna terpaksa harus belajar untuk memaafkan suaminya yang berselingkuh demi melepaskan diri dari beban di hatinya.
Baca Juga: Mengapa Perempuan Sering Menjadi Korban Kejahatan?
Memaafkan Lebih Baik untuk Kesehatan
Meskipun sulit, memaafkan bisa memudahkan kita untuk mengurangi stres. Hal ini juga dapat mengurangi segala emosi negatif.
Menjadi pribadi yang sulit memaafkan dapat merusak suasana hati. Seperti munculnya peristiwa balas dendam, permusuhan, kemarahan, dan kesedihan yang mengambil alih sebagian pikiran. Hal ini juga meningkatkan tekanan darah yang membuat kita berisiko terkena serangan jantung.
Tidak mau memaafkan juga memicu terjadinya penyakit mental berkepanjangan, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma. Sebuah studi fMRI oleh peneliti Italia, Dr. Pietro Pietrini, menunjukkan bahwa kemarahan dan rasa dendam dapat menghambat pemikiran rasional.
Sebaliknya, saat kita berada dalam proses memaafkan, ia mampu mengaktifkan area otak yang terkait dengan pemecahan masalah, moralitas, empati, dan kontrol kognitif emosi. Bahkan, penelitian oleh Stanford Medicine menunjukkan bahwa memaafkan bisa meningkatkan suasana hati dan optimisme.
Baca Juga: Simak, Ini 7 Hal Penting Raih Great Presentation untuk Tarik Minat Klien
Berhenti Menyalahkan Orang Lain
Dengan tidak memaafkan, kita akan lebih fokus pada pelaku daripada menghadapi apa yang sudah terjadi. Kita akan terjebak dan selalu merasa menjadi korban dibandingkan fokus untuk terus maju.
Dalam proses memaafkan, kita tentu akan merasa skeptis; bertanya-tanya apakah kita benar-benar bisa memaafkan. Jika pun kata memaafkan sudah terucap, belum tentu kita ikhlas.
Namun perlu diingat bahwa tidak memaafkan berarti terus mengulang ingatan akan pengalaman pahit. Kita terjebak pada emosi yang tertunda, sementara mungkin pelaku yang berbuat kesalahan sudah berdamai dengan rasa bersalahnya.
Oleh karena itu, untuk memaafkan orang lain, kita tak hanya membutuhkan niat tetapi juga metode yang tepat dalam mengatur perasaan.
Baca Juga: Adakah Penjelasan Ilmiah Soal Zodiak? Simak Penjelasan Ini
Metode untuk Memaafkan Orang Lain
Dalam menghadapi keterikatan pada peristiwa masa lalu, kita memerlukan metode yang tepat. Dr. Frederic Luskin, salah satu pendiri Stanford Medicine, mengatakan langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengulas kembali masalah .
Membuka luka lama dengan mengingat kembali pada berbagai peristiwa, bertujuan untuk menghilangkan bahaya, tetapi melatih pikiran kita agar tidak terikat pada kejadian itu.
Robert Enright, psikolog asal University of Wisconsin, bersama rekan-rekannya, membagi cara memaafkan ke dalam empat bagian.
- Mengungkap kemarahan yang dilakukan melalui kesadaran diri dan pemahaman agar kita belajar bahwa kesalahan membuat banyak kerugian.
- Memutuskan untuk memaafkan, yaitu membuat komitmen untuk memaafkan.
- Menimbang alasan memaafkan. Dalam fase ini, kita mulai memahami latar belakang pelaku.
- Fase pendalaman, yaitu kita mulai menemukan makna dalam penderitaan yang dialami.
Selain itu, simak kisah lengkapnya dari audio drama siniar Semua Bisa Cantik bertajuk “Cukupkah dengan Niat Memaafkan? Pt. 2” di Spotify. Jangan lupa untuk dengarkan episode menarik lainnya!
Penulis: Nika Halida Hashina & Ristiana D. Putri
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV