> >

Jelang Penetapan UMP, Menteri Hukum Akan Prioritaskan Putusan MK soal UU Ciptaker Terkait Upah

Ekonomi dan bisnis | 4 November 2024, 20:05 WIB
Massa buruh melakukan aksi demo menuntut kenaikan upah 8-10 persen di tahun 2025, di depan Balai Kota Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2024) (Sumber: .(KOMPAS.com/FIRDA JANATI))

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan, pihaknya akan segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXII/2024 atas Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan.

Dari 21 pasal yang dibatalkan dalam UU Cipta Kerja itu, yang menjadi prioritas adalah terkait penetapan upah. Lantaran, sebentar lagi besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sudah harus diumumkan oleh kepala daerah.

"Harus ditetapkan di bulan November, seluruh gubernur harus menetapkan itu. Dan saya yakin satu atau dua hari ini ada kebijakan terkait itu," kata Supratman usai rapat kerja bersama Komisi XIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/11/2024). 

Ia mengatakan, pemerintah akan menaati putusan MK karena belum ada upaya hukum lanjutan sejauh ini. Namun ia belum memastikan apakah akan melibatkan serikat buruh dalam penentuan tindak lanjut Putusan MK untuk UMP itu. 

Baca Juga: Airlangga Kumpulkan Menteri di Akhir Pekan, Bahas Tindak Lanjut UU Ciptaker hingga Tiket Pesawat

"Kan pemerintah harus melakukan itu, dan tidak ada pilihan lain karena tidak ada upaya hukum," ujarnya seperti dikutip dari Antara.

Setelah persoalan upah selesai, pemerintah baru akan menindaklanjuti poin-poin putusan MK lainnya. Sebagai informasi, sebelumnya MK juga memutuskan pemerintah dan DPR harus mengeluarkan UU tentang Ketenagakerjaan dari klaster UU Cipta Kerja dan membuat UU baru dalam waktu dua tahun.

Menurutnya, batas waktu itu sangatlah cukup. Sebagai mantan Ketua Badan Legislasi DPR RI, dia pun menilai seharusnya pembuat undang-undang tidak mengalami masalah.

Sebelumnya, MK telah menerima gugatan dari Partai Buruh terkait UU Ciptaker. Dalam sidang yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (31/10), MK memutuskan untuk mencabut dan merevisi 21 pasal dari UU Ciptaker tersebut.

Baca Juga: Kornas Guru Berharap Pemerintah Realisasikan Tambahan Upah Rp2 Juta per Bulan: Ini Lebih Esensial

Keputusan MK tersebut berkaitan dengan perkara Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 yang menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang. Tuntutan pencabutan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang diajukan oleh Partai Buruh diterima oleh seluruh Hakim MK.

Dalam putusannya, MK mengabulkan pengujian konstitusional terhadap 21 norma dalam UU Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh. Sementara itu, satu pasal yang dimohonkan tidak diterima, dan permohonan lainnya ditolak karena dianggap tidak berlandaskan secara hukum.

Adapun berikut adalah 21 pasal dalam UU Cipta Kerja yang telah diubah berdasarkan pokok permohonan yang dikabulkan oleh MK.

Mengutip Antara, berikut daftar putusan 21 pasal yang dikabulkan MK:

1. Menyatakan bahwa frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai “Menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja.”

Baca Juga: Airlangga Bertemu Apindo Bahas UMP 2025, Pengusaha Minta Pengupahan Pertimbangkan SUSU

2. Menyatakan bahwa Pasal 42 ayat 4 dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang mengizinkan tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.

3. Menyatakan bahwa Pasal 56 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 yang menentukan jangka waktu pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa jangka waktu tidak melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan.

4. Menyatakan bahwa Pasal 57 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 yang mengharuskan perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan huruf Latin bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk membuat perjanjian secara tertulis dalam bahasa tersebut.

5. Menyatakan bahwa Pasal 64 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 yang menyebutkan "Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa "Menteri yang menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya dalam perjanjian tertulis."

6. Menyatakan Pasal 79 ayat 2 huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang menyatakan “Istirahat minggguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu”.

Baca Juga: Istana Beberkan Isi Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Solo

7. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat 5 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

8. Menyatakan bahwa Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyebutkan “Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang memenuhi kebutuhan hidup wajar bagi pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

9. Menyatakan bahwa Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyebutkan “Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan untuk mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai melibatkan dewan pengupahan daerah, termasuk unsur pemerintah daerah, dalam perumusan kebijakan pengupahan untuk pemerintah pusat.

10. Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”.

11. Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.

Baca Juga: Ada Perubahan Nomenklatur Kementerian/Lembaga, Begini Mekanisme Pengisian Jabatan ASN

12. Menyatakan bahwa frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).

13. Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88 F dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

14. Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 UU 6/2023 yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh perusahaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan”.

15. Menyatakan Pasal 92 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 33 UU 6/2023 yang menyatakan “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.

16. Menyatakan bahwa Pasal 95 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 36 UU 6/2023 yang menyebutkan “Hak lainnya dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa hak tersebut didahulukan atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.

Baca Juga: Warga Bisa Skrining Kesehatan Gratis di Hari Ulang Tahun, Cek Lokasi dan Cara Daftarnya

17. Menyatakan bahwa Pasal 98 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 39 UU 6/2023 yang menyebutkan “Dewan pengupahan dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau daerah dalam perumusan kebijakan dan pengembangan sistem pengupahan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa dewan pengupahan harus berpartisipasi secara aktif.

18. Menyatakan bahwa frasa “Wajib dilakukan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” dalam Pasal 151 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk melaksanakan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.

19. Menyatakan frasa "Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial" dalam pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap".

20. Menyatakan frasa "dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya" dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHIPPHI."

21. Menyatakan frasa "diberikan dengan ketentuan sebagai berikut" pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 angka 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'paling sedikit."

 

 

Penulis : Dina Karina Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Antara


TERBARU