> >

79 Tahun Usia Republik Indonesia, Aktivis Nilai Nasib Buruh Masih Memprihatinkan

Ekonomi dan bisnis | 16 Agustus 2024, 14:17 WIB
Ilustrasi pekerja pabrik. (Sumber: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Aktivis buruh nasional, Mirah Sumirat, menilai kondisi buruh di Indonesia masih memprihatinkan di usia republik yang ke-79 tahun ini. Ia memaparkan, pekerja di tanah air mulai terdampak penetapan upah murah sejak tahun 2015 lewat PP 78/2015, tentang Pengupahan.

PP tersebut menghilangkan perhitungan komponen Hidup Layak (KHL) serta “meniadakan” fungsi Dewan Pengupahan. Hal itu mengakibatkan "Politik Upah Murah" muncul dan ditambah lagi UU Omnibuslaw Cipta Kerja.

"Belum lagi usai derita upah murah mendera, kondisi ekonomi pekerja/buruh Indonesia diperburuk dengan tingginya harga pangan dan harga barang kebutuhan pokok hampir 20% dari tahun 2022 sudah dirasakan sampai saat ini," kata Mirah dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat (16/8/2024). 

"Dampaknya daya beli turun, dimana upah tidak bisa mengimbangi harga pangan dan kebutuhan dasar yang cenderung tidak terkendali," tambahnya. 

Baca Juga: Puan Bicara Pemilu Berkualitas: Apakah Rakyat Dapat Memilih Tanpa Rasa Takut dan Paksaan?

Turunnya daya beli membuat permintaan pasar anjlok, sehingga barang-barang yang diproduksi perusahaan tidak lalu. Alhasil, banyak perusahaan melakukan PHK massal.

Kondisi dunia usaha juga tak kalah susah, lanjut Mirah, karena serbuan barang impor. PHK juga banyak disebabkan bergesernya model industri dari konvensional menjadi digitalisasi/otomatisasi. 

Di saat yang bersamaan, anak-anak buruh dihadapkan mahalnya biaya sekolah hingga Uang Kuliah Tunggal (UKT) di level perguruan tinggi. 

Menurut Mirah, hanya anak-anak orang kaya saja yang bisa melanjutkan kuliah. Hal ini menyebabkan nasib hidup anak-anak pekerja/buruh semakin terdorong ke sisi jurang kemiskinan.

Baca Juga: Sampaikan Pidato Kenegaraan, Jokowi: Mohon Maaf untuk Setiap Hati yang Kecewa

"Padahal kita sama - sama tahu bahwa pendidikan itu dijamin oleh negara sesuai dengan amanat Konstitusi UUD 45 yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa," ujarnya. 

Sementara itu, kelas menengah yang selama ini jadi penopang konsumsi nasional, semakin terhimpit dengan naiknya biaya hidup namun tak mendapat bantuan pemerintah seperti warga miskin. Oleh karena itu muncul fenomena makan tabungan atau mantab. 

Ia menuturkan, kondisi itu sebenarnya bisa diperbaiki salah satunya dengan menaikkan upah pekerja. Apalagi sebentar lagi pembahasan upah minimum 2025 akan dimulai. 

Mirah berharap pemerintah menyadari sederet dampak negatif dari berlakunya upah murah selama ini. 

Baca Juga: Jokowi Pamer Keberhasilan 10 Tahun Kepemimpinan: Kita Telah Membangun Fondasi Peradaban Baru

Ia juga menyoroti tingkat penganguran yang tidak sesuai target selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

"Pada awal pemerintahan menargetkan tinggkat pengangguran di akhir periode kepemimpinan di 2019 berada dikisaran angka 5 persen. Namun, realisasinya angka pengangguran berada di atas 5 persen," terangnya. 

Kondisi yang hampir sama terjadi pada pemerintahan periode yang kedua, dimana targetnya lebih rendah yakni 3,6-4,3 persen.

Tapi realisasinya, pengangguran masih di angka kisaran 5 persen.

"Angka tersebut masih jauh dari capain yang ditetapkan oleh pemerintah," ucapnya. 

Baca Juga: Menaker Sebut Tren Ketenagakerjaan Mulai Bergerak ke Arah Green Productivity

Mirah Sumirat juga mengajak pekerja/buruh dan pengusaha untuk membangun kembali Hubungan Industrial Pancasila. Ia menyebut, menjaga hubungan yang harmonis antara pekerja dengan pengusaha bisa menjadi jalan keluar yang baik bagi kedua belah pihak. 

Dengan begitu, PHK adalah jalan terakhir yang diambil. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah supaya pabrik tidak tutup dan pekerja tidak di PHK, bisa dengan memberikan subsidi produksi, pengurangan pajak dan lain-lain.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber :


TERBARU