> >

Ormas Keagamaan Bisa Kelola Tambang, Peneliti Singgung Politik Akomodatif dan Balas Budi

Energi | 2 Juni 2024, 15:30 WIB
Ilustrasi tambang. Jokowi menandatangani UU No. 25 Tahun 2024 yang memungkinkan ormas keagamaan mendapat izin tambang. (Sumber: Dok. MIND ID)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menilai kebijakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan mendapatkan izin tambang sebagai aturan yang kontraproduktif.

Diketahui, Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Kamis (30/5/2024).

Dalam Pasal 83A Ayat 1 disebutkan, Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Baca Juga: PGI Respons Kebijakan Jokowi Beri Ormas Keagamaan Izin Usaha Tambang

Menurut Ferdy, tata kelola pertambangan yang seharusnya dibangun secara profesional telah dicederai dengan hal-hal yang bersifat politik akomodatif dan balas budi.

Aturan ini dikhawatirkan dapat menghambat tata kelola pertambangan negeri, termasuk program hilirisasi.

“Bagaimana bisa membandingkan badan usaha milik ormas keagamaan dengan perusahaan tambang yang sejak lama memang memiliki kompetensi di bidang itu?” kata Ferdy, Minggu (2/6/2024), seperti dikutip dari Kompas.id.

“Yang dikhawatirkan, ujungnya beralih atau dijual ke perusahaan lain dan menjadi efek bola salju. Ini akan buruk bagi iklim usaha pertambangan di Indonesia,” ujar Ferdy.

Lebih lanjut, Ferdy juga menyoroti tujuan diterbitkannya PP Nomor 25 Tahun 2024 ini yang disebut untuk kesejahteraan rakyat.

Menurutnya, setiap regulasi kerap mengandung frasa tersebut, tetapi implementasinya seringkali tak searah. Ia berharap, kekayaan sumber daya mineral Indonesia dapat dikelola dengan baik dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok dan golongan tertentu.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menyebut aturan baru ini bertentangan dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

Dalam UU tersebut, pengembalian wilayah (relinquishment) PKP2B diprioritaskan untuk dilelang ke BUMN dan BUMD. Jika keduanya tak berminat, baru dilelang ke pihak swasta.

Baca Juga: Revisi PP Minerba, Jokowi Teken Aturan yang Memungkinkan Ormas Keagamaan Kelola Tambang

Adapun, ormas keagamaan masuk ke dalam golongan swasta sehingga tidak dapat langsung diberikan.

“Dalam proses lelang itu ada hak negara berupa PNBP (penerimaan negara bukan pajak) dari Kompensasi Data dan Informasi (KDI). Kalau tidak dilelang, ada potensi kerugian negara. PP ini juga bisa menjadi polemik serta ada kemungkinan diajukan judicial review oleh masyarakat,” ujar Rizal.

Selain itu, definisi ormas keagamaan juga tidak tercantum dalam Bab 1 PP Nomor 25 Tahun 2024 ini, hanya muncul di bagian penjelasan.

Menurutnya, ketentuan mengenai ormas keagamaan harus jelas agar tidak menimbulkan masalah di masa depan.

 

Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas.id


TERBARU