> >

Konfederasi SARBUMUSI : Tapera Membebani Buruh

Properti | 31 Mei 2024, 17:03 WIB
Ilustrasi perumahan Tapera. (Sumber: tapera.go.id)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Konfederasi SARBUMUSI) menilai bahwa kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) membebani buruh. Bahkan, semakin menjauhkan buruh dari impian memiliki rumah. 

Sebab, beban pengeluaran buruh yang besar dan tidak sebanding dengan kenaikan upah tahunan akan semakin berat dengan adanya iuran program Tapera.

Hal itu disampaikan Presiden Konfederasi SARBUMUSI, Irham Ali Saifuddin,  dalam rilisnya, Jumat (31/5/2024). 

Seperti yang diketahui, pemerintah mengeluarkan PP No. 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 mengenai Penyelenggaraan Tapera. 

Kebijakan ini mengharuskan pekerja membayar iuran dengan ketentuan 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan 2,5 persen oleh pekerja. Sementara itu, pekerja mandiri diharuskan membayar sebesar 3 persen yang ditanggung sendiri.

Namun, Irham menilai langkah yang diambil tidak tepat dan justru berpotensi membebani buruh lebih jauh.

“Program Tapera ini baik dari sisi normatif, tetapi membebani buruh dalam praktik pelaksanaannya nanti. Kenaikan upah minimum tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak buruh saat ini," kata Irham dalam keterangannya, Jumat (31/5/2024).

"Selain itu, kebutuhan buruh akan rumah adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan untuk 20 atau 30 tahun mendatang ketika iuran Tapera mereka bisa diambil,” ujarnya.

Irham juga menjelaskan bahwa PP No. 21 Tahun 2024 belum mengatur penghitungan nominal yang akan diterima buruh nantinya. 

“PP baru tentang Tapera ini tidak menjelaskan entitlements apa saja yang akan didapatkan buruh nantinya. Apakah hanya akumulasi 3 persen dari kontribusi buruh dan pemberi kerja, atau ada penyertaan dana dari pemerintah dan/atau dana tambahan dari pengelolaan BP Tapera. Hal ini tentu dapat berpotensi adanya misconduct dalam pelaksanaan program ini,” lanjutnya.

Menurutnya, penghitungan dalam peraturan pemerintah ini juga tidak jelas dasarnya. Secara nominal tidak dijelaskan secara rinci rumah seperti apa yang akan didapatkan pekerja nantinya.

Baca Juga: Apindo dan Serikat Buruh Angkat Bicara Terkait Polemik Kebijakan Iuran Tapera

Selain itu, skema menyediakan rumah melalui skenario hipotek konvensional atau penyediaan rumah bersubsidi jauh lebih baik dan masuk akal karena bisa langsung dinikmati oleh pekerja.

Konfederasi SARBUMUSI lantas memberikan saran kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hunian buruh melalui dua strategi. 

“Pertama, optimalisasi fungsi BPJS Ketenagakerjaan melalui program manfaat layanan tambahan (MLT) yang mencakup rumah buruh serta perluasan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang inklusif, termasuk bagi buruh informal. Kedua, penguatan program perumahan rakyat oleh negara melalui skema pembiayaan khusus atau skema khusus untuk buruh dengan penghasilan rendah," paparnya.

"Hal ini lebih visible dibanding dengan mengumpulkan dana dari buruh di depan dan baru akan diambil setelah sekian tahun. Ini belum lagi mempertimbangkan kenaikan lahan dan bahan bangunan dalam 10-30 tahun mendatang, sehingga bisa jadi dana yang diiur buruh melalui Tapera tidak akan ada nilainya,” imbuhnya. 

Lebih lanjut, jika pemerintah nekat memberlakukan PP Tapera ini, Konfederasi SARBUMUSI mengingatkan adanya risiko instabilitas ekonomi di masa depan dan public distrust terhadap pengelolaan dana publik.

“Kondisi ekonomi global saat ini penuh ketidakpastian dan fragile. Globalisasi, perubahan iklim, postur demografi, serta situasi geopolitik dan keamanan global akan membuat dana yang diiur buruh ini berada dalam situasi ketidakpastian dan rentan,” jelas Irham. 

Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat masih trauma terhadap isu korupsi dan hilangnya dana publik yang dikelola oleh lembaga publik seperti ASABRI beberapa tahun lalu.

Dalam PP tersebut disebutkan bahwa Tapera dilakukan melalui penyimpanan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. 

Jika jangka waktu minimal iuran diberlakukan selama 20 tahun, maka kepemilikan rumah oleh pekerja akan sangat sulit direalisasikan, mengingat adanya risiko inflasi dan ketidakpastian ekonomi di masa depan.

 

Terakhir, Irham menyayangkan tidak adanya transparansi dalam proses pembuatan aturan PP Tapera ini. 

“SARBUMUSI selalu mengingatkan pemerintah mengenai pentingnya dialog sosial dan konsultasi tripartit yang intens, transparan, dan konstruktif dalam setiap proses pembuatan regulasi ketenagakerjaan. Jangan di-bypass terus seperti ini. Belum lagi di BP Tapera sama sekali tidak ada unsur buruh. Tentu tidak akan pernah benar-benar memahami situasi buruh dan apa yang diinginkan buruh. Kebutuhan buruh akan hunian adalah kebutuhan saat ini, bukan kebutuhan yang bisa ditunda 20-30 tahun lagi. Mimpi buruh punya rumah jangan semakin dikubur!” tutup Irham. 

Baca Juga: Lengkap! Kemenkeu Ungkap Sistem Pengelolaan Dana Tapera yang Dikumpulkan dari Gaji Pegawai

Penulis : Rizky L Pratama Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU