> >

Pengamat: Ini Syarat yang Harus Dipenuhi kalau Pemerintah Mau Tapera Berhasil

Ekonomi dan bisnis | 29 Mei 2024, 10:53 WIB
Ilustrasi. Pengamat ekonomi menilai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bisa berhasil asal dikelola dengan baik dan transparan. (Sumber: BP Tapera)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai, aturan pemerintah soal Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bisa menjadi solusi persoalan masyarakat yang tidak punya rumah.

Adapun kebijakan itu terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). 

Fithra mengatakan, Tapera akan menjadi solusi atas permasalahan gap antara masyarakat yang tidak memiliki hunian tetap karena miliki pemasukan atau pendapatan yang terbatas. 

"Sehingga akan sedikit memaksa mereka ya dengan sistem iuran untuk memudahkan mereka mendapatkan rumah. Ya karena pada akhirnya juga iuran ini juga subsidi silang ya bentuknya," kata Fithra di Jakarta seperti dikutip dari Antara, Selasa (28/5/2024).

Baca Juga: Kena Beban 0,5 Persen, Kadin Sebut Iuran Tapera Berpotensi Turunkan Produktivitas Kegiatan Usaha

Selain itu, Tapera memberi dampak ekonomi berganda berupa penciptaan lapangan kerja, penggunaan input produksi, sehingga bermuara pada sumbangan pertumbuhan ekonomi juga.

Tapi, lanjut Fithra, Tapera juga memiliki sisi negatif.

Dalam jangka pendek, Tapera akan menambah biaya produksi bagi para pelaku usaha lantaran mereka secara langsung berkontribusi terhadap iuran sebesar 0,5 persen per bulan.

Sedangkan dampak tidak langsungnya, para pekerja akan meminta kenaikan gaji karena mereka juga dikenakan potongan iuran 2,5 persen. 

"Dalam proses negosiasi mereka untuk income mereka di masa depan yang pada akhirnya iuran 2,5 persen ini secara tidak langsung terserap oleh pengusaha yang pada akhirnya menjadi biaya juga buat mereka," ujarnya. 

Baca Juga: KSPN Ragu Program Tapera Cocok untuk Pekerja Penghasilan Rendah, Ini Alasannya

"Secara aturan memang dibebankan pada pekerja, namun pada praktiknya bisa saja semua secara tidak langsung akan ditanggung pengusaha lewat efek kenaikan gaji jangka panjang," tambahnya. 

Hal-hal di atas nantinya bisa mendorong terjadinya inflasi yang disebabkan dorongan biaya (cost push inflation), sehingga akhirnya pengusaha mengurangi produksi. 

"Bahkan implikasi jangka panjang itu ya mungkin pemberhentian karyawan/lay off. Ya kita bicara di jangka panjang juga efeknya," ucapnya. 

Fithra menuturkan, Tapera bisa saja jadi program yang sukses selama pemerintah bisa mengelolanya dengan baik. 

Baca Juga: Kritik Iuran Tapera dari 3 Persen Gaji, Pengamat: Diprank Dulu Sama Presiden, Baru Konsultasi Publik

"Ini bisa berhasil kalau institusi kita berjalan, pemerintahan kita bagus. Tanpa pemerintahan yang baik, Tapera ini menjadi tak berguna dan bahkan tidak mungkin menjadi beban perekonomian," sebutnya. 

Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, Tapera bisa berhasil selama dikelola dengan transparan.

Ia mendorong manajemen dari program ini bisa transparan dan jelas, sehingga efektivitas Tapera dalam kebutuhan rumah karyawan dapat jelas. 

Termasuk kebijakan pendukung sebagai jaminan bahwa pemenuhan perumahan bagi masyarakat menjadi lebih pasti.

Baca Juga: Potong Gaji 3 Persen dari Pekerja, Begini Rincian Kegunaan Tapera hingga Waktu Dimulainya

Ia juga menyoroti soal pemilihan waktu dalam penetapan regulasi tersebut. Sebab, harga lahan untuk perumahan kian meningkat dari tahun ke tahun. 

"Kalau pertumbuhan harga lahan begitu cepat yang kemudian susah diimbangi oleh peningkatan terkumpulnya tabungan Tapera ya makin lama akan makin mahal, makin susah terjangkau. Jadi, karena ada akar permasalahan penting dalam penyediaan dan peningkatan harga lahan yang cepat," tutur Faisal di Jakarta, seperti dikutip dari Antara. 

Untuk mencegah harga tanah naik gila-gilaan, sambungnya, pemerintah bisa membatasi kepemilikan lahan.

Masalah lainnya adalah turunnya tingkat konsumsi di dalam negeri, terutama masyarakat kelas menengah bawah.

Hal itu tercermin dari pertumbuhan upah riil sampai dengan 2023, yang pertumbuhannya negatif 1 persen.

Baca Juga: Apa Itu Tapera dan Tujuannya? Siap-Siap Gaji Karyawan Swasta dan PNS Dipotong Tiap Bulan

"Artinya kalau upah riil negatif berarti secara daya beli itu turun dari sisi pendapatan," kata Faisal. 

"Kalau dipukul rata ini timing yang tidak tepat apalagi di saat yang sama pemerintah juga berencana menetapkan tambahan penerimaan tambahan cukai, PPN mau dinaikkan, subsidi akan dikurangi artinya secara akumulatif ini akan membebani masyarakat," imbuhnya. 

Penulis : Dina Karina Editor : Deni-Muliya

Sumber : Antara


TERBARU