Bank Indonesia Kembali Gunakan Nama BI Rate Gantikan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate
Perbankan | 22 Desember 2023, 00:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Bank Indonesia resmi kembali menggunakan nama BI Rate mulai 21 Desember 2023. Istilah BI Rate kembali dipakai sebagai suku bunga kebijakan menggantikan BI 7-Day (Reverse) Repo Rate.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, pergantian nama itu dilakukan untuk memperkuat komunikasi kebijakan moneter.
"Penggantian nama ini tidak mengubah makna dan tujuan BI-Rate sebagai stance kebijakan moneter Bank Indonesia, serta operasionalisasinya tetap mengacu pada transaksi reverse repo Bank Indonesia tenor 7 hari," kata Perry dalam konferensi pers, Kamis (21/12/2023).
Sebagai informasi, istilah BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) diberlakukan 19 Agustus 2016, menggantikan BI Rate.
Baca Juga: Jokowi Groundbreaking Kodim dan Polres IKN, Desain Usung Konsep Modern Green Building
Mengutip dari laman BI, pergantian nama itu adalah upaya penguatan kerangka operasi moneter yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan best practice internasional dalam pelaksanaan operasi moneter.
Saat itu BI menyatakan, instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil.
"Instrumen BI 7-Day (Reverse) Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo," tulis BI.
Baca Juga: Jokowi Tawarkan Bebas PPh dan PPN untuk UKM yang Investasi di IKN
Setelah 7 tahun berlalu, kini BI kembali menggunakan instrumen BI rate. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pun memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%.
Perry menjelaskan, keputusan mempertahankan BI-Rate pada level 6,00% tetap konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability.
Yaitu untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam sasaran 2,5±1% pada 2024.
"Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujarnya.
Baca Juga: BI-Bank of Korea Sepakat Dorong Penggunaan Mata Uang Lokal dalam Transaksi Keuangan!
"Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga," tambahnya.
Ia menyampaikan, BI juga terus mendorong percepatan digitalisasi sistem pembayaran untuk meningkatkan volume transaksi dan memperluas inklusi ekonomi-keuangan digital. Termasuk digitalisasi transaksi keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
BI juga memperkuat koordinasi denga. Pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Perry menuturkan, BI memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan mitra strategis, termasuk program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID).
Baca Juga: Jokowi Sentil Perbankan, Minta Kredit UMKM Dipermudah dan Jangan Fokus soal Agunan
Serta Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD).
Sinergi kebijakan antara Bank Indonesia dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga diperkuat dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha, khususnya pada sektor-sektor prioritas.
Penulis : Dina Karina Editor : Gading-Persada
Sumber : laman resmi bank indonesia