Kominfo: Starlink Milik Elon Musk Belum Urus Izin Penyelenggara Internet Satelit, Baru Izin Labuh
Ekonomi dan bisnis | 28 November 2023, 11:26 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan, penyedia layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk yaitu Starlink, belum mengajukan izin membuka layanan internet satelit di Indonesia.
Direktur Telekomunikasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemenkominfo Aju Widya Sari mengatakan, Starlink baru mengajukan surat izin Hak Labuh Satelit (Landing Right), atau izin satelit asing untuk beroperasi di Indonesia.
Izin tersebut diberikan oleh Menkominfo kepada Penyelenggara Telekomunikasi atau Lembaga Penyiaran.
Setelah mendapat izin Hak Labuh, Starlink hanya melayani jaringan tetap tertutup PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat).
Tapi untuk beroperasi secara komersial atau membuka layanan internet satelit di Indonesia, diperlukan izin tambahan yakni izin penyelenggaraan.
Menurut laman resmi Starlink, pihaknya menuliskan bahwa mereka menargetkan untuk menyediakan layanan di Indonesia mulai tahun 2024.
Baca Juga: Israel Murka, Akan Cegah Elon Musk Sediakan Internet Starlink untuk Lembaga Kemanusiaan di Gaza
“Sepanjang semua persyaratan itu dipenuhi ya bisa beroperasi, landing right-nya, tapi kan itu belum sampai ke penyelenggaraan telekomunikasi, jadi komersialnya, operasionalnya dan segala macam itu ada di izin penyelenggaraan,” kata Aju dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Senin (27/11/2023)
Ia menambahkan, syarat perizinan layanan telekomunikasi memang cukup banyak dan mendetail. Starlink harus memenuhi sejumlah persyaratan, seperti menggunakan gateway dan IP Address Indonesia.
Aju kemudian menjelaskan tahapan yang harus dilewati Starlink atau perusahaan lainnya yang ingin dapat izin komersil internet satelit.
Baca Juga: Situs X.com Milik Elon Musk Diblokir di Indonesia, Ini Penjelasan Kominfo
Mulai dari hal yang paling dasar seperti memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), membangun pusat operasional di Indonesia, hingga melewati tiga pengujian yaitu mencakup Internet Service Provider (ISP), Network Acess Point (NAP), dan Very Small Aperture Terminal (VSAT).
"Seluruh proses perizinan itu harus melewati tahapan yang diajukan lewat sistem perizinan usaha terintegrasi (OSS) yang dikelola oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)," ujar Aju seperti dikutip dari Antara.
Jika akhirnya Starlink membuka layanan internet satelit di RI, ia memastikan pemerintah akan menjamin aspek keadilan dan menguntungkan semua pihak.
Aju mengatakan, setiap investasi satelit atau lainnya yang datang dari asing akan dipastikan untuk menghadirkan kompetisi yang sehat dengan industri telekomunikasi yang telah ada di dalam negeri.
Baca Juga: Satelit Starlink Milik Elon Musk Dapat Izin Labuh di RI, Khusus Layanan Perusahaan Ini
Selain itu, kedatangan investasi asing tersebut juga harus menguntungkan bagi pemerintah Indonesia, dan yang terpenting, memenuhi kebutuhan dari masyarakat.
“Kita harus kasih beberapa kondisi, pre-kondisi, agar janji mereka terjamin. Karena, pemerintah harus berdiri di semua pihak, termasuk dari industri, pemerintah sendiri, dan yang paling penting adalah kebutuhan dari masyarakat,” terangnya.
Ada juga pertimbangan apakah teknologi satelit bisa sepenuhnya mewakili persaingan yang sehat di Indonesia.
Berdasarkan data Kominfo, hingga saat ini masih terdapat 1.020 desa yang masih tergolong area blank spot, daerah yang tidak mendapat sinyal dari menara telekomunikasi, sehingga membatasi pengguna layanan seluler untuk melakukan komunikasi.
Pilihan jaringan seluler di Indonesia juga masih terbatas, belum seluruhnya terjamah oleh fiber optik. Beberapa tersolusikan melalui radio (microwave link), selebihnya melalui satelit (VSAT).
Baca Juga: Santer Kabar TikTok Shop Gabung Tokopedia, Mendag Sebut Tak Masalah asal Ikuti Aturan
Sementara satelit konvensional juga terbatas dari segi kapasitas dan isu biaya sewa.
Untuk itu, teknologi baru yang ditawarkan Starlink bisa menjadi solusi untuk mengatasi area blank spot di Indonesia, termasuk di daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T).
“Karena kita tidak selalu bisa menggantungkan pada, jaringan fiber optik terestrial. Kita juga harus bisa memikirkan pengantar jaringan transportasi ini, untuk wilayah seperti Indonesia, harus bisa dijangkau dengan jaringan satelit,” tuturnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Antara