> >

PR Indonesia Terkait Hilirisasi Mineral Dalam Negeri Melalui Industrialisasi

Ekonomi dan bisnis | 4 Oktober 2023, 10:23 WIB
Focus Group Discussion dengan judul Kesiapan Industri Pendukung Dalam Menyerap Produk Hilirasi menghadirkan narasumber (kiri-kanan) Komite Tetap Minerba Kadin Indonesia Arya Risqi Darsono, Staff Ahli Menteri ESDM Irwandy Arif, Wakil Ketua Indonesian Mining Association Ezra Sibarani, CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Alexander Barus, serta moderator Aris Prasetyo di Menara Kompas, Jakarta Pusat, Selasa (3/10/2023). (Sumber: KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI))

JAKARTA, KOMPAS.TV - Industrialisasi menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk setahap lebih maju dalam program hilirisasi mineral tambang di dalam negeri. Melalui industrialisasi, semua produk hilirisasi mineral dapat terserap dan nilai tambah meningkat.

Hal ini dibicarakan dalam diskusi yang digelar harian Kompas dan Indonesian Mining Association (IMA), Selasa (3/10/2023) dengan tema “Kesiapan Industri Pendukung dalam Menyerap Produk Hilirisasi”.

Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif yang menjadi narasumber diskusi tersebut mengatakan bahwa Kementerian ESDM akan terus melakukan optimalisasi peningkatan mineral dan batubara di Indonesia. 

Baca Juga: Cadangan dan Potensi Nikel Melimpah, MIND ID Jadi Penopang Hilirisasi dan Transisi Energi Pemerintah

Untuk sampai di tahap industrialisasi, terdapat sejumlah PR yang harus dilakukan bersama Kementerian Perindustrian.

“Harus ada kebijakan bersama (terpadu) agar industri hilir di bawah Kementerian ESDM dan smelter-smelter independen berjalan baik. Pengawasannya harus dilakukan bersama. Di Kementerian ESDM, setiap komoditas sudah memiliki pohon industri sampai ke hilir,” kata Irwandy.

Dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 296 Tahun 2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Kritis, terdapat 47 jenis mineral kritis, termasuk di antaranya aluminium, kobalt, litium, nikel, tembaga, dan timah.

Irwandy menjelaskan bahwa klasifikasi ini bukan hanya diperuntukkan untuk hilirisasi, tetapi juga untuk dirumuskan tata kelola dan strateginya.

“Beberapa sudah dilarang ekspor dalam bentuk bijih. Nikel dan bauksit sudah, nanti juga yang lain. Pelarangan ini dengan pertimbangan-pertimbangan matang untuk perkembangan industri ke depan,” tuturnya.

Wakil Ketua IMA Ezra Sibarani yang juga menjadi narasumber menambahkan bahwa harus ada keselarasan antara pemerintah dan pelaku usaha dalam hal kebijakan, strategi utama, pembukaan pintu investasi, dan komunikasi yang baik agar proses ini tercapai.

”Di sisi hilir, diperlukan keseimbangan antara sumber daya mineral dan smelter di dalam negeri. Jangan sampai, misalnya, 15 tahun ke depan saat tren kendaraan listrik berada di puncak, sumber daya (nikel)-nya sudah tidak ada (untuk diolah dan dimurnikan di smelter),” ujar Ezra.

Ezra mengusulkan agar pemerintah mengundang investor guna mengeksplorasi lebih lanjut demi meningkatkan cadangan mineral di Indonesia. 

Baca Juga: Pesan Jokowi ke Presiden Selanjutnya: Jangan Hentikan Hilirisasi, Rugi Besar Kita

Investasi dan Energi

Ketua Komite Tetap Mineral dan Batubara Kadin Indonesia A Rizqi Darsono menyampaikan sejumlah tantangan yang dihadapi pelaku usaha dalam mewujudkan industrialisasi dalam negeri, seperti investasi, sumber energi yang murah dan ramah lingkungan, dan terciptanya pasar sebagai penyerap produk industrialisasi.

Di antara tantangan tersebut, masalah pembiayaan atau investasi menjadi yang paling utama. Sebab, pelaku usaha masih dibebani biaya bunga yang tinggi dari perbankan dalam negeri, begitupun untuk penyediaan sumber energi listrik.

“Agar efisien, biaya listrik harus murah. Sementara ada tuntutan listrik yang digunakan bersumber dari energi terbarukan. Padahal, selama ini yang paling murah dan pasokannya stabil baru dari batubara,” kata Rizqi.

Sementara itu, CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan bahwa kapasitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi dibutuhkan untuk mengoptimalkan hilirisasi dan mewujudkan industrialisasi dalam negeri.

Barus bilang bahwa Indonesia masih membutuhkan kemampuan teknologi dari negara lain selaku investor. Sayangnya, sulit diharapkan investor tersebut memberikan alih teknologi kepada Indonesia.

 

”Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus memperbesar dana riset dan pengembangan (untuk teknologi hilirisasi) agar semua berjalan optimal. Begitu juga pengiriman tenaga kerja ahli ke luar negeri untuk meningkatkan kapasitas mereka,” ucap Barus.

Baca Juga: [FULL] Sambutan Jokowi di Rakernas Relawan Seknas: Bicara Soal Trust, Hilirisasi Hingga 2024

Barus menambahkan, dari sisi tenaga kerja, diakui memang di awal investasi atau operasi industri pengolahan dan pemurnian di Morowali, Sulawesi Tengah, masih banyak menggunakan tenaga kerja asing. 

Namun, lambat laun tenaga kerja lokal lebih dominan. Di IMIP, dari sekitar 97.000 tenaga kerja, kurang dari 10 persen tenaga kerja asing. 

Penulis : Fiqih Rahmawati Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU