Enggak Bisa Rem Mendadak, Ini Perhitungan Jarak yang Diperlukan Agar Kereta Bisa Berhenti
Ekonomi dan bisnis | 24 Juli 2023, 12:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Pekan lalu, publik dihebohkan dengan peristiwa sebuah truk yang ditabrak KA Brantas di perlintasan sebidang Jalan Madukoro, Semarang, Jawa Tengah. Kereta Brantas yang sedang melaju menabrak truk yang mogok di tengah rel, hingga mengakibatka truk meledak dan lokomotif kereta rusak.
Pihak KAI menyatakan, kereta api memang tidak bisa berhenti mendadak meski masinis kereta sudah melihat ada kendaraan melintang di tengah rel. Ada faktor-faktor tertentu yang harus dipenuhi untuk pengereman kereta api. Jika masinis memaksakan rem mendadak, justru bisa membuat gerbong kereta terguling dan membahayakan banyak penumpang.
Mengutip dari laman resmi PT KAI, Senin (24/7/2023), berikut adalah jarak pengereman kereta api untuk bisa berhenti di satu titik:
Simulasi Jarak yang Dibutuhkan Lokomotif untuk Berhenti (kecepatan/jarak):
- 120 km/jam - 860 meter
- 110 km/jam - 750 meter
- 100 km/jam - 505 meter
- 90 km/jam - 480 meter
- 80 km/jam - 379 meter
- 70 km/jam-336 meter
- 60 km/jam - 221 meter
- 50 km/jam - 157 meter
- 45 km/jam - 132 meter
Baca Juga: Kronologi dan Dampak Kecelakaan Kereta Api Gajayana dan Truk Gandeng di Kertosono
"Perhitungan di atas adalah simulasi di wilayah Daerah Operasi 8 Surabaya. Perhitungan dapat berbeda, tergantung faktor-faktor yang memengaruhi jarak pengereman," tulis KAI.
Adapun faktor yang berpengaruh pada jarak pengereman yaitu:
1. Kecepatan kereta api. Semakin tinggi kecepatan kereta api, maka semakin panjang jarak pengereman.
2. Kemiringan/lereng (gradient) jalan rel (datar, menurun, atau tanjakan).
3. Persentase pengereman yang diindikasikan dengan besarnya gaya rem.
4. Jenis kereta api (kereta penumpang/barang).
5. Jenis rem (blok komposit/blok besi cor).
6. Kondisi cuaca.
7. Dan berbagai faktor tekhnis lainnya.
VP Public Relations KAI Joni Martinus menjelaskan, hal yang menyebabkan kereta api tidak dapat berhenti mendadak adalah karena panjang dan bobot kereta api. Makin panjang dan berat rangkaiannya, maka jarak yang dibutuhkan kereta api untuk dapat benar-benar berhenti akan semakin panjang.
Baca Juga: Ingin Jadi Masinis Kereta Api di PT KAI? Pahami 7 Tahapan yang Harus Dilalui
Di Indonesia, rata-rata 1 rangkaian kereta penumpang terdiri dari 8-12 kereta (gerbong) dengan bobot mencapai 600 ton, belum termasuk penumpang dan barang bawaannya.
"Dengan kondisi tersebut, maka akan dibutuhkan energi yang besar untuk membuat rangkaian kereta api berhenti," kata Joni.
Ia menerangkan, pengereman yang dipakai pada kereta api di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem jenis rem udara. Cara kerjanya adalah dengan mengompresi udara dan disimpan hingga proses pengereman terjadi.
Saat masinis mengaktifkan sistem pengereman, udara tadi akan didistribusikan melalui pipa kecil di sepanjang roda dan membuat friksi pada roda. Friksi ini yang akan membuat kereta berhenti.
"Walaupun kereta api telah dilengkapi dengan rem darurat, rem ini tetap tidak bisa berhenti mendadak. Rem ini hanya menghasilkan lebih banyak energi dan tekanan udara yang lebih besar untuk menghentikan kereta lebih cepat," tuturnya.
Baca Juga: KNKT Bentuk Tim Investigasi Kasus Tabrakan Kereta Api Brantas dan Truk di Semarang
"Jadi, meskipun masinis telah melihat ada yang menerobos palang kereta, selanjutnya melakukan proses pengereman, maka tetap akan membutuhkan suatu jarak pengereman agar benar – benar berhenti. Hal inilah yang nantinya menyebabkan kejadian tabrakan, apabila jarak pengereman tidak terpenuhi," lanjutnya.
Joni mengatakan, rem pada rangkaian kereta api bekerja dengan tekanan udara. Sistem kinerja rem pada roda dihubungkan ke piston dan susunan silinder. Mekanisme yang mengurangi tekanan udara di kereta api akan memaksa rem mengunci dengan roda.
Jika tekanan dilepaskan secara tiba-tiba, maka akan menyebabkan pengereman yang tidak seragam, sehingga rem bekerja lebih dulu dari titik keluarnya udara. Pengereman yang tidak seragam dapat menyebabkan kereta atau gerbong tergelincir, terseret, bahkan terguling.
“Kami terus mengingatkan kembali, bahwa tata cara melintas di perlintasan sebidang adalah berhenti di rambu tanda "STOP", tengok kiri-kanan, apabila telah yakin aman, baru bisa melintas. Palang pintu, sirine dan penjaga perlintasan adalah alat bantu keamanan semata," kata Joni.
"Alat utama keselamatannya ada di rambu-rambu lalu lintas bertanda "STOP" tersebut. Jadi apabila masyarakat Ketika di perlintasan sudah melihat adanya kereta api walaupun masih jauh, maka seharusnya berhenti terlebih dahulu hingga kereta api tersebut lewat,” tandasnya.
Baca Juga: Pungutan Rp150.000 untuk Turis Asing yang Masuk Bali Diterapkan Februari 2024
Bagi masyarakat yang melanggar ketentuan melewati perlintasan sebidang, bisa dikenai sanksi pidana penjara dan denda.
Sesuai dengan UU No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pasal 114 menyatakan:
"Pada perlintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi wajib:
a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup dan/atau ada isyarat lain.
b. Mendahulukan kereta api, dan
c. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintasi rel.
Apabila penguna jalan raya tidak mematuhi aturan tersebut, maka sanksi hukum telah menanti, sesuai sanksi hukum yang tertera pada aturan UU No: 22 tahun 2009, pasal 296 yang berbunyi :
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor pada perlintasan antara kereta api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber :