> >

Netizen Sedih Toko Buku Langganan dari TK Mau Tutup, Ini Sejarah Gunung Agung

Ekonomi dan bisnis | 22 Mei 2023, 08:39 WIB
Toko Buku Gunung Agung Margo City, Depok. (Sumber: Instagram @gunungagung)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Toko Buku Gunung Agung akan menutup seluruh gerainya di Indonesia pada akhir tahun ini. Hal tersebut dilakukan saat Toko Buku Gunung Agung memasuki usia 70 tahun, karena sudah ada sejak 1953. 

Selama puluhan tahun berdiri, keberadaan toko buku yang biasanya ada di dalam mal itu, sudah melekat pada konsumennya. 

Di kolom komentar Instagram Gunung Agung, banyak warganet yang menyayangkan rencana penutupan seluruh gerai seperti dikutip pada Senin (22/5/2023). 

"Yg di sency sama Margo city jgn tutup pliss, bismillah bs bertahan," tulis akun @rezanafeeza. 

"what a loss... gunung agung selalu jadi tempatku mampir setiap ke mall hope for the best..," kata akun @nabillaalyaa.

"sedih... Byk kenangan jaman kuliah nyari buku disini... terimakasih sdh pernah hadir mencerdaskan bangsa," ujar akun @indiraina82.

Baca Juga: Terus Merugi, Toko Buku Gunung Agung Akan Tutup Seluruh Gerai Akhir 2023

"jam Waktu sd idh paling keren klo belanja buku di gunung agung kenangan indah masa2 sekolah terima kasih," kata @desy_niy. 

"Arghh Makasih bgt Gunung Agung telah mewarnai dan menemani masa kecil kami. Cuma baca disana ajah udh seneng bgt," sebut akun @ilhamajeee. 

"Terima kasih toko buku Gunung Agung, khususnya yang Kwitang. Kenangan masa kecil bareng almarhum ibu, beli buku disini tempatnya luas dan adem, kalo ga aalah lantai 2. Abis beli komik donald bebek atau majalah bobo, baliknya dibeliin tahu isi semacam bakwan malang yang ada di bawah," tutur akun @jendralgatotsubroto.

Mengutip dari Kontan.co.id, Toko Buku Gunung Agung didirikan pada 1953 oleh Tjio Wie Tay atau juga dikenal dengan Haji Masagung. Toko Buku Gunung Agung dimulai dari kios sederhana yang menjual buku, surat kabar, dan majalah dengan nama Thay San Kongsie.

Saat bisnis penjualan buku dan surat kabarnya semakin tumbuh besar, Haji Masagung kemudian mendirikan Firma Gunung Agung yang lini bisnis utamanya adalah importir buku dari luar negeri.

Usaha lainnya Firma Gunung Agung adalah menjadi penerbit buku. Bisnisnya terus membesar, ia bahkan mendirikan Toko Buku Gunung Agung di Kwitang Jakarta Pusat dalam satu bangunan besar empat lantai.

Kepiawaian Haji Masagung dalam bisnis buku tak lepas dari pergaulannya yang dekat dengan kalangan penulis, cendekiawan, hingga para jurnalis.

Ia juga seorang sosok yang acap kali menyelenggarakan pameran buku yang sukses mendapatkan sambutan hangat masyarakat luas.

Baca Juga: KJP Mei Belum Cair, Ternyata Ada Uji Kelayakan Penerima, Pelajar Merokok Bantuannya Dicabut?

Sejak tahun 1986, pewaris bisnis Haji Masagung diteruskan anak-anaknya, yakni Putra Masagung, Made Oke Masagung, serta Ketut Masagung. Namun sepeninggal ayah mereka, bisnisnya kemudian terbagi-bagi.

Karena alasan sakit, Putra Masagung mundur dari Grup Gunung Agung. Ia memilih konsentrasi di bisnis toko buku saja, Toko Buku Gunung Agung.

Tak lama berselang, giliran si bungsu Ketut Masagung juga memilih mundur dari bisnis Grup Gunung Agung dengan mendirikan toko buku sendiri, Toko Buku Walisongo.

Toko Buku Walisongo yang berfokus pada penjualan buku-buku islami. Lokasi Toko Buku Walisongo pun masih berada di bilangan Kwitang tak jauh dari Toko Buku Gunung Agung.

Sepeninggal dua saudaranya, di tangan Made Oka Masagung, Grup Gunung Agung mengembang cepat. Gurita bisnisnya mulai dari ke sektor jasa keuangan dengan memiliki Bank Arta Prima, money changer (Ayumas Gunung Agung), perusahaan investasi, dan properti serta pertambangan.

Hanya tangan bisnis Made Oka tak sedingin ayahnya. Kelewat ekspansif membuat bisnis Gunung Agung tertambat banyak masalah.

Padahal di awal berdirinya, sejumlah nama besar ikut tercatat sebagai pemegang saham Gunung Agung. Misalnya Mohammad Hatta, H.B. Jassin, dan Adinegoro.

Baca Juga: Nasabah BSI Bingung Ada Saldo Diblokir Rp50.000 Saat Cek Rekening, Ini Penjelasan BSI

Soal keterpurukan bisnis Grup Gunung Agung ini ditandai dengan kisah Made Oka MasAgung, sang pemilik, menjual 80 persen sahamnya kepada PT Kosgoro.

Langkah itu dilakukan lantaran kelompok usaha yang didirikan ayah Oka, Haji Masagung tersebut terbelit utang sampai Rp450 miliar.

Sebanyak Rp 55 miliar dari jumlah itu berupa utang kepada Bank Summa. Dan sebagian besar utang sudah jatuh tempo.

Pengalihan saham kepada Kosgoro itu kabarnya bahkan dilakukan lewat saluran telepon internasional. Kala itu Oka terbaring di sebuah rumah sakit di Amerika Serikat.

Beberapa proyek, seperti penambangan emas di Sukabumi juga dikabarkan sekarat. Nasib serupa juga menimpa sektor properti.

Kongsi Oka dengan mantan direktur Astra dan petinggi bank saat itu di tahun 1990 tak berjalan sukses.

Akibatnya, utang proyek-proyek perusahaan property bernama Graha Prima sudah mencapai ratusan miliar tak tertanggungkan.

Baca Juga: Pengumuman, 10 Halte Transjakarta Ini Akan Ditutup 31 Mei-3 Juni untuk Revitalisasi

Pada 1993, Oka pun menjual 80 persen kepemilikan saham atas Wisma Kosgoro di Jalan Thamrin Jakarta kepada empat yayasan yang dipimpin pengusaha Bob Hasan.

Sampai saat itu, Oka tercatat sebagai bendahara Kosgoro. Dengan masuknya Kosgoro, bisnis Masagung pun menyusut.

Selain berdagang buku dan usaha penerbitan, Gunung Agung juga menjadi pena Parker, rokok Dunhill dan Rothmans, serta majalah Time.

Kemudian Mas Agung merambah ke bisnis pariwisata dengan membangun PT Jaya Bali Agung.

Melalui PT Jaya Mandarin Agung, Gunung Agung jadi pengelola Hotel Mandarin yang berpatungan dengan investor Hong Kong.

Saat didirikan, pemegang saham Gunung Agung terdiri atas 100 orang. Di antaranya tercatat proklamator Mohammad Hatta, H.B. Jassin, Adinegoro, dan Sumanang.

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV, Kontan.co.id


TERBARU