4 Tradisi Malam Selikuran di Indonesia, dari Keraton Yogyakarta, Surakarta hingga Betawi
Tradisi | 22 April 2022, 08:51 WIBSOLO, KOMPAS.TV - Malam Selikuran adalah tradisi untuk menyambut malam Lailatulqadar yang menurut ajaran agama Islam terjadi pada tanggal ganjil di mulai pada malam ke-21 (selikur).
Saat agama islam masuk ke Nusantara, Wali Sanga menggabungkan ajaran malam Lailatulqadar dengan budaya jawa untuk berdakwah.
Malam Selikuran dilaksanakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, lebih giat beribadah yang mana tujua akhirnya adalah mendapatkan kemuliaan Lailatulqadar yang konon lebih dari 1000 bulan.
Tradisi Malam Selikuran yang paling dikenal yakni di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Namun, selain dua tempat tersebut, beberapa daerah berikut ini juga mengadakan tradisi Malam Selikuran:
Baca Juga: Apa Itu Malam Selikuran? Tradisi Menyambut Malam Lailatulqadar di Indonesia
1. Poe Lilikuran
Poe lilikuran merupakan tradisi menyambut malam Lailatulqadar pada hari ke-21 di Jawa Barat.
Dalam bahasa Sunda, 'poe' artinya hari, sementara 'lilikuran' adalah 10 hari tanggal ganjil menjelang Lebaran yang dimulai dari selikur (21), tilu likur (23), dan seterusnya.
Masyarakat Jawa Barat biasanya memperingati poe lilikuran dengan saling mengantar makanan ke tetangga.
Selain itu, mereka juga membuat aneka kue dan panganan ringan untuk dibawa ke Masjid dan dilanjurkan dengan doa bersama.
2. Malam Ketupat
Jika biasanya ketupat identik dengan Hari Raya Idulfitri, namun tidak berlaku bagi masyarakat Betawi.
Masyarakat Betawi memiliki tradisi malam ketupat yang diadakan mulai dari 10 hari terakhir bulan Ramadan.
Tradisi ini khususnya dilakukan pada malam-malam ganjil untuk memperoleh kemuliaan Lailatulqadar.
Pada malam-malam itulah, masyarakat Betawi membuat berbagai hidangan ketupat untuk dibawa ke masjid dengan tujuan meramaikan kembali tempat ibadah di pekan terakhir Ramadan.
Agaknya, masyarakat Betawi memilih ketupat karena hidangan ini merupakan simbol pemersatu silaturahmi.
3. Malem Selikuran di Keraton Yogyakarta
Malam Selikuran di Keraton Yogyakarta dimulai sore hari pukul 16.30 WIB/17.00 WIB Bangsal Sri Manganti dan selesai tidak lama setelah azan magrib.
Baca Juga: Malam Selikuran, Lailatul Qadar dalam Tradisi Nusantara
Mengutip laman kratonjogja.id, Malam Selikuran dihadiri oleh perwakilan dari tepas-tepas dan kawedanan-kawedanan yang ada di Keraton Yogyakarta, juga seluruh Abdi Dalem Punakawan Kaji dan Abdi Dalem Suranata.
Berbagai hidangan ditata dalam wadah besek (kotak dari anyaman bambu) berisi nasi lengkap dengan lauknya.
Selain besek, ada pula buah-buahan dan susunan kecil nasi bungkus. Semuanya itu diangkut ke Bangsal menggunakan jodhang, sebuah kotak kayu besar.
Selain acara di Bangsal Sri Manganti, ada juga tradisi menyalakan lilin yang dilakukan oleh Abdi Dalem Keparak.
Sebuah lilin diletakkan di pintu gerbang menuju Keraton Kilen, dua di Gedhong Sedahan, tiga belas di Gedhong Prabayeksa, satu di Bangsal Pengapit, dan empat di Bangsal Kencana.
Lilin yang berada di pintu gerbang menuju Keraton Kilen dilengkapi dengan cawan berisi bunga dan bokor berisi air.
4. Malem Selikuran di Keraton Surakarta
Malam Selikuran di Keraton Surakarta dikembangkan oleh Sultan Agung, dihidupkan oleh Pakubuwana IX hingga era Pakubuwana X.
Ritual dilakukan dengan mengarak tumpeng yang diiringi lampu ting atau pelita dari keraton menuju Masjid Agung Surakarta.
Lampu ting merupakan simbol dari obor yang dibawa para sahabat ketika menjemput Rasulullah SAW usai menerima wahyu di Jabal Nur.
Nasi tumpeng yang dibawa abdi dalem berjumlah seribu, sesuai dengan jumlah pahala setara seribu bulan.
Tumpeng berisi nasi guring dilengkapi dengan kedelai hitam, rambak, mentimun, dan cabai hijau lalu dimasukkan ke dalam wadah dari besi dan kuningan.
Kemudian nasi tumpeng yang diarak-arak oleh para abdi dalem ini akan didoakan oleh pemuka agama dan dibawa ke titik terakhir di Taman Sriwedari.
Namun kini, rute kirab malam selikuran hanya dilakukan sampai Masjid Agung saja.
Penulis : Dian Nita Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV