KH Bisri Syansuri: Perumus UU Perkawinan dan Ahli Fikih yang Melawan Orde baru
Risalah | 22 April 2022, 05:55 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Sosok ini komplet sebagai seorang ahli fikih, aktivis pergerakan, politikus hingga sosok ulama berpengaruh. Beliau dikenal dengan nama KH Bisri Syansuri.
Dalam biografi Gus Dur yang ditulis Greg Barton, KH Bisri Syansuri disebut sebagai sosok yang begitu sangat berpengaruh dalam hidup Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid.
Selain sebagai seorang kakek dari jalur ibu, pemikiran KH Bisri Syansuri juga begitu melekat dalam diri Gus Dur, khususnya soal prinsip dan ‘perlawanan’ melawan Orde Baru.
Sosok ini malang melintang dalam kancah perpolitikan Indonesia, khususnya ketika NU masih berada di Masyumi hingga menarik diri dalam Khittah 1984. Ia pun pernah menjadi Rais Syuriah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Dia juga dikenal sebagai perumus UU Perkawinan yang kita kenal hari ini. Namun, lebih dari sekadar undang-undang, waktu itu UU Perkawinan yang berhasil dirumuskan yang dimotori oleh KH Bisri Syansuri dianggap sebagai perlawanan -dan kemenangan sipil dan ulama terhadap kekuasaan Orde Baru yang begitu kuat.
Baca Juga: Mengenal Saadoe'ddin Djambek, Ulama dan Tokoh Ilmu Falak Indonesia asal Minangkabau
Jejak Masa Kecil, Belajar hingga ke Makkah
Kiai Bisri dilahirkan di pada hari Rabu tanggal 28 Dzulhijjah tahun 1304 H atau 18 September 1886 di Tayu, Pati, Jawa Tengah.
Semasa kecil, Bisri belajar pada KH Abd Salam, seorang ahli dan hafal Al-Qur’an dan juga ahli dalam bidang fikih. Beliau belajar tentang Islam dengan mendalam, mulai dari hal dasar seperti ilmu nahwu, saraf, fikih, hingga tafsir dan tasawuf.
“Gurunya itu dikenal sebagai tokoh yang disiplin dalam menjalankan aturan-aturan agama. Watak ini menjadi salah satu kepribadian Bisri yang melekat di kemudian hari,” tulis jurnalis Abdullah Alawi, di situs resmi NU.
Sekitar usia 15 tahun, khususnya ketika Ramadan tiba, Bisri mulai belajar ilmu agama di luar tanah kelahirannya, pada kedua tokoh agama yang terkenal pada waktu itu yaitu KH Kholil Kasingan Rembang dan KH Syu’aib Sarang Lasem.
Lantas, ia melanjutkan berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan. Di pesantren inilah ia kemudian bertemu dengan Abdul Wahab Chasbullah, seorang yang kemudian menjadi kawan dekatnya hingga akhir hayat di samping sebagai kakak iparnya.
Beliau juga berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Kelak, mereka berdua menjadi besan dan dari putra-putri mereka lahirnya sosok Gus Dur.
Baca Juga: Sosok dan Jejak Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Ulama Kharismatik NTB, Pendiri Nahdlatul Wathan
Ia pun juga belajar di Makkah untuk memperdalam agama dan belajar ke pada sejumlah ulama terkemuka antara lain Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa'id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Jamal Maliki, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi dan lain-lain.
Ia pun pulang ke Indonesia dan sempat mendirikan di Pesantren Denanyar, Jombang, sepulang dari Makkah. Pesantren kini dikenal sebagai salah satu pesantren terbesar dan berpengaruh di Indonesia.
Kiprah Pergerakan Politik, Melawan Orde Baru
Sedari zaman Revolusi, KH Bisri Syansuri sudah turut serta bergerak melawan penjajah. Ia bersama beberapa ulama, termasuk ulama berpengaruh KH Wahab Chasbullah mendirikan Tashwirul Afkar yang kelak di kemudian hari menjadi Nadhlatul Ulama.
Semasa kemerdekaan, ia pun terlibat dalam pembentukan negara dan terlibat dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan menjadi anggota Konsituante 1956 hingga pemilu 1971.
Lantas, ketika KH Wahab Chasbullah berpulang, pada tahun 1972 beliau diberi amanah menjadi Rais Aam PBNU, pucuk tertinggi ulama di organisasi Nahdlatul Ulama.
Dari sinilah kisah perlawanan KH Bisri Syansuri ke Orde Baru kian menguat. Apalagi, di tahun-tahun tersebut, Soeharto sedang kuat-kuatnya.
Lantas, muncul ide dari Orde Baru membuat UU Perkawinan yang isinya dianggap oleh para ulama saat itu jauh dari watak hukum agama. Ia pun mengerahkan para ulama untuk membahas RUU bikinan Orde Baru ini. Akhirnya KH Bisri menolak hingga membuat RUU tandingan.
RUU Perkawinan tandingan bikinan ulama ini akhirnya dibicarakan dalam forum di DPR. Waktu itu KH Bisri Syansuri jadi Ketua Majeli Syuro PPP dan anggota DPR tahun 1972-1980.
Baca Juga: KH Sholeh Darat, Ulama Tanah Jawa dan Guru RA Kartini
Ketika itu NU ambil bagian dalam politik, dan masih berada dalam bagian PPP akibat politik penyatuan partai Orde Baru. Dalam persidangan, dikisahkan para kiai ini harus berhadapan dengan anggota DPR dan perwakilan dari para jenderal.
“Para jenderal yang saat itu memiliki nama dan wewenang yang cukup besar, seperti Soemitro, Daryatmo dan Soedomo harus berhadapan dengan Kiai Bisri yang terkenal tidak mengenal kompromi fikih secara ketat,” demikian tulis H Abd Aziz Masyhuri, dalam bukunya Al-Magfurlah KH Bisri Syansuri, Cita-cita dan Pengabdiannya.
Beberapa hal yang tidak disetujui rancangan dari pemerintah Orde Baru itu antara lain, soal pencatatan pernikahan, persoalan iddah, sampai perkara hak anak akibat hamil di luar nikah.
Hingga akhirnya, sejarah mencatat, UU perkawinan yang dimotori oleh ulama dan KH Bisri Syansuri disahkan dan dikenal hingga kini.
Setelah mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk umat, sosok ini berpulang pada umur 93 tahun, tepatnya pada tanggal 25 April 1980. Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Denanyar, Jombang.
Makamnya sampai sekarang ramai dikunjungi oleh peziarah dan ribuan santri dari pelosok negeri.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV