> >

Mengenal Syekh Kholil Bangkalan, Mahaguru Ulama dan Para Kiai Nahdlatul Ulama

Risalah | 12 April 2022, 13:16 WIB
Syaikhona Cholil Bangkalan ulama dan Mahaguru dari pesantren dan ulama-ulama NU (Sumber: Kompas)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Sosok ini oleh para ulama di Jawa, khususnya kiai-kiai Nadhlatul Ulama (NU), disebut Syaichona. Syaichona sendiri bermakna Mahaguru, orang yang dihormati sebagai gurunya para ulama.

Panggilan ini tidak main-main lantaran sosok bernama lengkap Al-'Aalim Al-'Allaamah Asy-Syekh Al-Hajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'I atau dengan nama kecil Muhammad Cholil, begitu dihormati.

Keluasan ilmu dan pengaruhnya tidak hanya dihormati oleh Nahdliyin, tapi juga oleh ulama-ulama di seantero Indonesia karena luasnya ilmu yang ia miliki.

Dikutip dari buku KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925 (Garasi, 2010) yang ditulis Muhammad Rifa’I dikisahkan, selain guru dari para Ulama Nusantara, ia juga dianggap guru dari Bung Karno.

Berdasarkan penuturan buku tersebut, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Kiai Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Kiai Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunnya.

Hal ini bisa bermakna, Bung Karno menganggapnya sebagai guru dan restu untuk menjadi pemimpin.

Baca Juga: Syekh Yusuf Al-Makassari, Ulama, Sufi dan Pahlawan RI Peletak Dasar Islam di Afrika Selatan

Masa Kecil, jejak Pesantren dan Murid-Muridnya

Syekh Kholil Bangkalan Lahir lahir Bangkalan, Madura, 7 Januari 1820 dari pasangan KH Abdul Latif dan Syarifah Khadijah. 

Dari pasangan ulama itu pula, Cholil kecil mendapatkan ajaran agamanya. Ia punya silsilah dengan dengan ulama-ulama di tanah Jawa dan memiliki pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati.

Sedari kecil, ia belajar dari para kiai dan pesantren di Pula Jawa. Ia belajar dari Kiai Muhammad Nur, kiai kharimastik asal Pesantren Langitan, Tuban.

Lantas KH Kholil Bangkalan pindah ke beberapa pesantren hingga di usia 24 tahun, ia belajar ke Mekkah-Medinah ke beberapa ulama seperti Syekh Nawawi Al-bantani, Syaikh Mustafa bin Ahmad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah dan sebagainya.

Dikutip dari buku Jejak Pemikiran Pendidikan Ulama Nusantara (Turots, 2021) dikisahkan, setelah pulang dari Makkah, ia tidak lantas mendirikan pesantren, tapi bekerja di kadipaten Bangkalan pada  malam hari.

Ketika berjaga itu, waktunya dipakai untuk membaca hingga akhirnya terdengar oleh Adipati Bangkalan waktu itu, Ludra Putih, yang kemudian mengangkatnya sebagai menantu.

Penulis : Dedik Priyanto Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU