Sejarah Masjid Laweyan, Tertua di Kota Solo yang Bercorak Hindu-Jawa
Tradisi | 4 April 2022, 02:35 WIBPengaruh dari Kerajaan Surakarta terlihat dari ruangan yang dibagi menjadi tiga bagian, yakni ruang induk (utama) dan serambi yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri.
Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat salat berjamaah.
Bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun juga menjadi ciri lain kuatnya pengaruh Jawa di Masjid Laweyan.
Dinding masjid yang terbuat dari susunan batu bata dan semen juga masih kokoh.
Baca Juga: Tradisi Bersih-Bersih Masjid Sambut Ramadan
Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding ini sebenarnya baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800.
Awalnya, sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid sebagian masih menggunakan kayu.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Kompleks Masjid Laweyan juga menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura, dan Kasunanan Surakarta.
Salah satu makam yang paling banyak dikunjungi ialah makam Kiai Ageng Henis.
Kiai Ageng Henis adalah seorang tokoh dari Sela yang hijrah ke Pengging.
Ia juga dikenal dengan sebutan Ki Ageng Laweyan, karena bertempat tinggal di Laweyan.
Selama hidup di Laweyan, ia pernah menjadi guru spiritual Jaka Tingkir saat belum naik takhta menjadi raja Pajang atau masih bernama Mas Karebet.
Selain makam Kiai Ageng Henis, beberapa kerabat dari kerajaan seperti Susuhunan Paku Buwono II, Permaisuri Paku Buwono V, Pangeran Widjil I Kadilangu Nyai Ageng Pati, Nyai Pandanarang, Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX, Dalang Kraton Kasunanan Surakarta, Kiai Ageng Proboyekso, dan Kiai Ageng Beluk juga dimakamkan di Kompleks Masjid Laweyan.
Baca Juga: Manfaatkan Ramadan, Pemerintah Buka Vaksinasi di Masjid Buat Jemaah Salat Tarawih
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV