Malam Selikuran, Lailatul Qadar dalam Tradisi Nusantara
Tradisi | 3 Mei 2021, 04:25 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Memasuki 10 hari terakhir di bulan Ramadan, merupakan fase terakhir dalam ibadah tahunan Umat Islam ini. Dalam ajaran Islam, ketika memasuki malam hitungan ganjil di 10 hari terakhir tersebut diyakini sebagai malam lailatul qadar yang sering disebut malam seribu bulan.
Bagi masyarakat Muslim Nusantara, ajaran ini kemudian beradaptasi dengan budaya lokal. Di Jawa, malam ini kemudian disebut malem selikuran (malam ke-21) di Jawa Barat disebut poe lilikuran. Sementara di masyarakat Betawi disebut malam ketupat.
Khusus di Keraton Solo, tradisi ini bahkan dirayakan cukup meriah dengan mengarak tumpeng.
Dilihat dari laman surakarta.go.id, malam selikuran menurut masyarakat jawa memiliki nilai yang spesial. "Tradisi malam selikuran (21 Ramadhan) adalah tradisi budaya sekaligus religius (agama) yang syarat dengan makna. Pada umunya masyarakat jawa memperingati malam selikuran dengan berbagai ragam tradisi."
Di Jawa Barat, poe lilikuran biasanya diisi dengan saling mengantar makanan ke tetangga. Hal ini masih bisa dirasakan di sebagian desa di Jawa Barat meski sudah memudar di perkotaan.
Baca Juga: Ramadan di Bosnia, Kisah Pekerja Tambang Batu Bara Menjalani Puasa Sambil Berjihad Mencari Nafkah
Sementara di Jakarta, malam kerupat biasanya dilakukan di tiap masjid dan musala. Di beberapa wilayah, tradisi ini sudah dijalankan sejak pertengahan Ramadan (15 Ramadan).
Masyarakat Kota Ternate, Maluku Utara, menyambut malam Lailatul Qadar dengan menggelar tradisi Ela-ela. Ela-ela merupakan tradisi masyarakat Kota Ternate setiap malam 27 Ramadhan. Yaitu menyalakan obor.
Andre Moller, penulis buku Ramadan di Jawa, Pandangan dari Luar, mengatakan bahwa ada dua tradisi bagi masyarakat Indonesia di penghujung Ramadan yaitu Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qadar.
"Yang pertama diselenggarakan pada tanggal 17 Ramadan, sedangkan yang kedua diadakan pada 27 Ramadan. Anehnya, masalah ini jarang didiskusikan di Jawa dan di Indonesia, dan sudah sekali mencari informasi tentangnya," tulis Andre.
Andre kemudian mengutip pendapat cendekiawan Muslim almarhum Nurcholis Madjid atau Cak Nur yang mengatakan, dua tradisi di bulan puasa itu sulit mencari bandingannya di negara Islam manapun. Bahkan, peringatan Nuzulul Qur'an di Istana Negara merupakan gagasan Haji Agus Salim kepada Presiden Soekarno.
Baca Juga: Jelang 10 Hari Terakhir Ramadan, Berikut 4 Amalan Cara Meraih Malam Lailatul Qadar
"Menurut Cak Nur, merayakan atau memperingati Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qadar secara terpisah merupakan ijtihad yang sangat baik, sebab akan mengingatkan kita pada nilai-nilai spritus di mana Tuhan seakan-akan ikut ambil bagian atau melakukan intervensi (dalam arti positif) terhadap jalannya sejarah bangsa kita."
Sebab, malam Nuzulul Qur'an pada 17 Ramadan dikaitkan dengan tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Penulis : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV